Selasa, 24 Mei 2016

http://www.mediafire.com/download/3bh2bng62s6w4sr/%28Yusta+Rianda%29_5113.17.39.docx.docx
















UJIAN NASIONAL BERBASIS KOMPUTER
kecanggihan teknologi dalam bidang pendidikan juga di manfaatkan pemerintah untuk melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Dalam pelaksanaannya siswa mengerjakan soal dari komputer yang ada. Semua gudang soal di handle oleh 1 server yaitu dari server pusat. Hal ini mempersempit ruang bocoran soal.

pesantogan Kemangi

PESANTOGAN KEMANGI
Desa Kemiren-Glagah-Banyuwangi

 Pesantogan Kemangi terletak di desa Kemiren - kec.Glagah kab. Banyuwangi, tepatnya di barat pertigaan menuju ke kolam renang Wisata Osing. Pesantogan Kemangi merupakan tempat yang cocok untuk nongkrong semua usia. di warung kemangi ini menyediakan kopi khas kemiren makanan khas kemiren pecel pitik dan uyah asem.



Jumat, 13 Mei 2016

SUMUR SRI TANJUNG SUMBERWANGI SALAH SATU SITUS LEGENDA
BANYUWANGI
 Banyuwangi….? Sepintas hanya terdengar sebagai kabupaten biasa seperti kabupaten – kabupaten lain yang ada di Indonesia. Namun sekarang Kabupaten Banyuwangi menjadi kabupaten yang dikenal banyak orang diluar sana. Kabupaten Banyuwangi adalah sebuah kabupaten yang berada di provinsi Jawa Timur. Kabupaten Banyuwangi atau yang memiliki julukan bumi Blambangan ini terletak di ujung paling timur Pulau Jawa. Kabupaten Banyuwangi berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di sebelah utara, Samudera Hindia di sebelah selatan, Selat Bali di sebelah timur, serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di sebelah barat. Kawasan perbatasan Banyuwangi dengan Kabupaten Bondowoso terdapat rangkaian pegunungan Ijen dengan puncaknya Gunung Raung dan Gunung Merapi terdapat kawah Ijen. Kedua gunung tersebut adalah gunung api aktif. Bagian selatan terdapat perkebunan peninggalan sejak zaman Hindia Belanda. Di perbatasan Kabupaten Jember bagian selatan, merupakan kawasan konservasi cagar alam Taman Nasional Meru Betiri. Kabupaten Banyuwangi memiliki luas ±5.782,50 km2 dan menjadikan Banyuwangi sebagai kabupaten terluas di Jawa Timur bahkan di Pulau Jawa. Ada banyak hal yang bisa kita nikmati ketika berada di Banyuwangi, salah satunya yang berkaitan dengan sejarah Banyuwangi. Banyuwangi memiliki sejarah – sejarah yang masih kental akan keasliannya yang membuat Kabupaten Banyuwangi semakin menarik di mata para penikmatnya. Selain sejarahnya, tempat, bangunan, dan situs bersejarah di Kabupaten Banyuwangi pun juga melengkapi ketertarikan pelancong yang sedang berkunjung ke Banyuwangi, salah satunya adalah sumur Sri Tanjung Sumberwangi.
Sumur Sri Tanjung Sumberwangi merupakan salah satu situs bersejarah yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Sumur Sri Tanjung Sumberwangi atau yang sering disebut sumur Sri Tanjung terletak di kota Banyuwangi Jalan Sidopekso no.10, kelurahan Temenggungan. Sumur Sri Tanjung ini berdekatan dengan Masjid Agung Baiturrahman, makam para Bupati yang pernah memimpin Banyuwangi, dan taman Sri Tanjung. Letak dari sumur Sri Tanjung tersebut lebih tepatnya di gang sebelah timur pendopo Banyuwangi yakni di dalam rumah warga. Sumur Sri Tanjung ditemukan pada masa Raden Tumenggung Notodiningrat pada tahun 1912 hingga 1920. Sumur ini awalnya dibuat hanya sebagai percobaan warga untuk membuat sumur di rumahnya. Namun, pada saat menggali sumur di belakang rumah Bapak Darusman, bau harum atau wangi keluar dari sumur itu. Warga percaya bahwa harum yang keluar dari sumur tersebut adalah bau Sri Tanjung yang ditenggelamkan oleh Sidopekso ke sungai yang terletak di bawah rumah Bapak Darusman.
     Sri Tanjung dan Sidopekso adalah legenda turun – temurun yang merupakan kisah asmara dan kesetiaan yang menjadi cikal bakal terjadinya Banyuwangi. Sri Tanjung merupakan suatu legenda menceritakan bagaimana seorang putri yang sangat cantik jelita dan setia kepada sang suami yakni Sidopekso, difitnah oleh seorang raja yang bernama Sulahkromo. Kisah ini diperkirakan berasal dari zaman awal kerajaan Majapahit yaitu sekitar abad ke-13 Masehi. Hal tersebut didasarkan atas bukti arkeologi, bahwa selain dalam bentuk tembang, kisah Sri Tanjung juga diabadikan dalam bentuk bas-relief yang terukir di dinding Candi Penataran, Gapura Bajang Ratu, Candi Surawana, dan Candi Jabung. Kisah diawali dengan menceritakan tentang seorang ksatria yang tampan dan gagah perkasa bernama Raden Sidopekso yang merupakan keturunan Pandawa. Konon, dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Sidopekso. Ia mengabdi kepada Raja Sulahkromo yang berkuasa di Kerajaan Sindurejo. Raja Sulahkromo sendiri merupakan kakak dari Raden Sidopekso. Sidopekso diutus mencari obat oleh raja kepada kakeknya Bhagawan Tamba Petra yang bertapa di pegunungan. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat ayu bernama Sri Tanjung. Sri Tanjung bukanlah gadis biasa, karena ibunya adalah bidadari yang turun ke bumi dan diperistri seorang manusia. Karena itulah Sri Tanjung memiliki paras yang luar biasa cantik jelita. Raden Sidopekso jatuh hati dan menjalin cinta dengan Sri Tanjung yang kemudian dinikahinya. Setelah menjadi istrinya, Sri Tanjung diboyong ke Kerajaan Sindurejo. Raja Sulahkromo diam – diam terpesona dan tergila – gila akan kecantikan Sri Tanjung. Sang Raja menyimpan hasrat untuk merebut Sri Tanjung dari tangan suaminya, sehingga ia mencari siasat agar dapat memisahkan Sri Tanjung dari Sidopekso dan mempersunting Sri Tanjung sebagai istrinya. Maka muncullah akal licik Sang Raja dengan memerintahkan Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa dan kira – kira membutuhkan waktu yang cukup lama. Lantas Sidopekso diutus oleh Raja Sulahkromo pergi ke Alas Purwo tepatnya di pantai Plengkung. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sementara itu, sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukannya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdo’a untuk suaminya. Api panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung. Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan kerajaan, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja. Tanpa berfikir panjang, Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan. Sidopekso termakan hasutan Sang Raja dan mengira istrinya telah berselingkuh, sehingga ia terbakar amarah dan kecemburuan. Karena emosi yang tak bisa ditahan lagi, akhirnya Sidopekso menghakimi Sri Tanjung agar mau mengakui apa yang telah dilakukan Sri Tanjung bersama kakak iparnya tersebut. Sri Tanjung memohon kepada suaminya agar percaya bahwa ia tak berdosa dan selalu setia. Namun Sidopekso mengelaknya dan berniat membunuh Sri Tanjung. Sri Tanjung dibawa olehnya ke pinggir sungai. Dengan rasa menyesal, Sri Tanjung mencoba menceritakan hal yang sebenarnya terjadi dan menolak tuduhan suaminya. Namun mendengar kata – kata istrinya, amarah Sidopekso semakin berkobar. Dengan penuh kesedihan Sri Tanjung pun menuruti keinginan suaminya itu, ia juga berpesan agar jasadnya dihanyutkan ke air yang keruh, kemudian Sri Tanjung bersumpah, “apabila air ini berbau anyir maka aku bersalah karena aku berselingkuh, tapi apabila air ini berbau harum mak itu merupakan bukti bahwa aku tak bersalah dan aku setia kepadamu”. Akhirnya dengan garang Sidopekso yang sudah gelap mata menikam Sri Tanjung dengan keris hingga tewas. Lalu apa yang terjadi? Keajaiban pun benar – benar datang. Air yang tadinya keruh berubah menjadi bening seperti kaca. Benarlah pesumpahan Sri Tanjung, air yang beraroma wangi harum semerbak tercium ketika Sri Tanjung tenggelam di sumur itu. Raden Sidopekso menyadari kekeliruannya dan menyesali perbuatannya. Konon air yang harum mewangi itu menjadi asal mula nama tempat tersebut. Maka sampai sekarang ibukota kerajaan Blambangan dinamakan Banyuwangi.
Menurut warga setempat, air sumur kadang bisa berubah warna dan aromanya. Kadang berbau wangi atau kadang berbau anyir / amis. Jika aroma air sumur berubah menjadi wangi, maka itu akan menjadi suatu pertanda baik yang akan menimpa suatu daerah ataupun bangsa ini. Misalnya kenyataan yang pernah terjadi di tahun 1965-an, sumur ini pernah berbau wangi dan ternyata di tahun inilah Gerakan 30 September oleh PKI (G 30 S/ PKI) terjadi.
Sumur Sri Tanjung ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang sekitar 1,4 meter dan lebar 0,8 meter, serta dalam ± 7 meter. Lebar sumur tersebut sama dengan lebar gang yang para pengunjung lewati saat mencapai sumur Sri Tanjung ini karena sumur ini jadi satu dengan rumah pemilik sumur ini. Dulu, pendopo Banyuwangi hingga rumah Pak Darusman adalah satu komplek. Disana terdapat sungai besar dan menurut Pak Darusman, rumah yang ditempati beliau itu dahulunya merupakan keputren. Keputren adalah tempat mandi para putri – putri raja. Pak Darusman selaku pemilik rumah mengaku baru percaya akan kehebatan sumur Sri Tanjung, setelah pada tahun 1982 ada rombongan dari kraton Solo dan Klaten yang datang ke Banyuwangi hanya khusus untuk berziarah ke sumur Sri Tanjung. Para sesepuh kraton mengatakan bahwa sumur Sri Tanjung adalah salah satu sumur tiban tertua di tanah Jawa, yang merupakan satu – satunya peninggalan sejarah. Sejak itulah Pak Darusman mau merawat sumur Sri Tanjung, walau para sesepuh dan nenek moyangnya sudah lebih dulu merawat dan sumur Sri Tanjung. Menurut Pak Darusman, para peziarah yang datang biasa terlebih dahulu diilhami atau didatangi oleh seorang putri yang cantik bernama Sri Tanjung. Kebanyakan para peziarah datang pada hari Selasa Kliwon, Selasa Legi, Jum’at Kliwon dan Jum’at Legi. Namun menurut warga setempat, air sumur ini seringkali berbau harum pada saat hari Kamis Malam atau Malam Jum’at di hari itulah Sang Putri Sri Tanjung menampakkan dirinya. Jika para peziarah ingin berinteraksi dengan Putri Sri Tanjung dengan didampingi Pak Darusman, maka para peziarah harus membawa kembang telon atau bunga pasar berwarna tiga macam untuk persembahan kepada Sang Putri Sri Tanjung. Setelah persembahan kembang telon di tempatkan dipinggir sumur, maka Pak Darusman akan memanggil Putri Sri Tanjung dengan menyalakan dupa wangi untuk mendapatkan do’a restu. Usai mendapatkan do’a restu, para peziarah baru diperkenankan meminta dan bermunajat kepada Allah SWT. dengan melalui sumur Sri Tanjung. Setelah melakukan ritual do’a maka satu persatu peziarah diminta cuci muka dengan air sumur kemudian meminumnya.
            Peristiwa Sri Tanjung yang dibunuh oleh suaminya, Sidopekso akhirnya menciptakan bau harum di sendang atau sumber air yang luas dan mengalir menjadi sungai. Hal itu menandakan bahwa Sri Tanjung setia kepada Sidopekso. Karena bau air yang harum tersebut, maka kabupaten ini dinamai Banyuwangi yang berasal dari kata “banyu” berarti air, dan “wangi” berarti harum, maka Banyuwangi memiliki makna “air yang harum”. Dengan peristiwa itu juga sendang tersebut dijadikan sebagai sumur yang disebut dengan sumur Sri Tanjung Sumberwangi yang memiliki kekuatan tersendiri. Tidak mengherankan bila Sumur Sri Tanjung Sumberwangi tersebut semakin banyak pengunjungnya, karena legenda putri Sri Tanjung ini, hingga kini memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Using Banyuwangi, bahkan bagi masyarakat diluar Banyuwangi juga mempercayai kekuatan putri Sri Tanjung itu. Sumur Sri Tanjung diyakini masih menyimpan beberapa misteri dan kekuatan gaib. Sumur Sri Tanjung diyakini oleh sebagian masyarakat memiliki beberapa khasiat ampuh. Air sumur ini dipercaya dapat mengabulkan do’a ataupun hajat. Bahkan ada yang mempercayai bahwa air sumur dapat membuat awet muda, dan ada juga yang menganggap jika minum dan mandi menggunakan air sumur ini maka akan mendapat berkah. Banyak diantara mereka, sepulang berziarah atau hanya berkunjung dari Sumur Sri Tanjung Sumberwangi ini mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tetapi tetap saja kita harus percaya kepada Sang Pencipta alam semesta.
            Dengan adanya situs sumur Sri Tanjung Sumberwangi diharapkan adanya antusias pemerintah dalam memperkenalkan situs ini agar semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke Banyuwangi. Selain itu, warga Banyuwangi hendaknya juga ikut menjaga keaslian sumur Sri Tanjung Sumberwangi. Sehingga pemerintah dan masyarakat sama – sama melestarikan sumur Sri Tanjung Sumberwangi ini. Jadi, situs sumur Sri Tanjung Sumberwangi dapat dinikmati hingga masa yang akan datang.
PETILASAN PRABU TAWANG ALUN SEBAGAI SALAH SATU
SAKSI SEJARAH  KERAJAAN BLAMBANGAN
DI KABUPATEN BANYUWANGI

Disusun Oleh : Joko Bing Arianto - X Mia 3 SMAN 1 Rogojampi
            Negara yang dijuluki sebagai negara kepulauan yaitu negara Indonesia yang berlambangkan Burung Garuda memang telah dikenal sebagai negara yang berpotensi. Sebab selain wilayahnya yang luas dan memiliki banyak pulau, Indonesia juga menyimpan sejuta sejarah beserta peninggalannya. Bahkan sumber sejarah dari negara lain kebanyakan berasal dari Indonesia. Hal ini mengundang daya tarik bagi para sejarawan yang ingin melakukan kajian dan penelitian ke Indonesia. Jadi, tidak salah lagi jika Indonesia dikatakan sebagai negara dengan potensi yang besar. Peninggalannya yang masih dapat kita lihat dan pelajari sampai sekarang antara lain candi dan petilasan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Seperti, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Prambanan, Candi Gedung Songo,dan candi lainnya.
Seperti di Kabupaten Banyuwangi yang berada di bagian ujung timur pulau Jawa atau biasa dikenal dengan sebutan “Sunrise of Java”. Selain berjuluk “Sunrise of Java”, Banyuwangi juga dikenal dengan “kota Using”. Karena mayoritas masyarakatnya menggunakan bahasa Using, dan bahasa Using merupakan bahasa asli masyarakat Banyuwangi. Sejarah yang tersimpan di Banyuwangi tidak dapat diragukan lagi, bahkan nama Banyuwangi juga memiliki sejarah tersendiri. Banyuwangi memang kota sejarah sesuai dengan arti pada namanya yaitu “banyu” yang berarti air dan “wangi” yang berarti harum, jadi Banyuwangi adalah air yang harum. Hal ini dapat dikaitkan, sebab dapat dimaknai bahwa nama Banyuwangi menjadi harum diikuti dengan sejarahnya yang kental. Peninggalan sejarah yang terdapat di Banyuwangi antara lain : Situs Umpak Songo, Situs Umpak Lima, Situs Rowo Bayu, Situs Batu Sangkur, Situs Makam Mbah Kopek, Situs Makam Buyut Munir, Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun, dan lainnya.
Kaitan Banyuwangi dan Blambangan
Banyuwangi merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Bondowoso di barat. Banyuwangi juga dikenal sebagai kabupaten terluas di Pulau Jawa yang mana gandrung menjadi maskot kota ujung timur Pulau Jawa ini. Oleh karena letak Banyuwangi yang begitu strategis maka hal ini berpengaruh  terhadap seni, budaya dan sejarah Banyuwangi. Sebab, letak yang strategis memungkinkan terjadinya perpaduan seni, budaya dan sejarah atau biasa disebut dengan “akulturasi” yang begitu kental. Seperti contoh yang berkemungkinan besar adalah antara Bali dengan Banyuwangi. Kedua daerah tersebut memiliki ciri khas dan juga potensi masing-masing. Tetapi, meskipun Banyuwangi mendapat perpaduan seni, budaya dan sejarah, namun masyarakat Banyuwangi tidak meninggalkan kebudayaan mereka sendiri dan hal ini justru menjadi dampak positif terhadap Banyuwangi sendiri.
Kebanyakan peninggalan bersejarah di Banyuwangi erat kaitannya dengan Kerajaan Blambangan yang pernah berdiri di Banyuwangi. Wilayah di ujung timur Pulau Jawa ini juga identik dengan peninggalan zaman Majapahit. Karena Blambangan  merupakan kerajaan yang semasa dengan Kerajaan Majapahit, bahkan dua abad lebih panjang umurnya dari Kerajaan Majapahit. Sebelum menjadi kabupaten, daerah ini dikenal dengan nama Blambangan. Penguasa yang paling terkenal adalah Prabu Tawang Alun. Seperti pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan Kerajaan Hindu Blambangan yang dipimpin oleh Prabu Tawang Alun. Juga perlu diketahui bahwa Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang paling gigih bertahan terhadap serangan Mataram dan VOC, dan Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang paling akhir ditaklukkan penjajah Belanda pada masa itu di Pulau Jawa. Tidak heran lagi jika nama Banyuwangi tidak dapat dipisahkan dengan nama Blambangan. Keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain, karena sejarah berdirinya Banyuwangi sendiri tidak lepas dari sejarah kerajaan Blambangan.
Hubungan antara Prabu Tawang Alun dengan Kerajaan Blambangan
Tawang Alun yang dikenal sebagai Prabu Tawang Alun pernah memerintah di Kerajaan Blambangan. Meski tidak ada prasasti yang menyebutkan secara pasti tentang kisah Prabu Tawang Alun, namun dari penelusuran para sejarawan, raja Hindu ini memerintah sekitar tahun 1645-1691. Kepastian tahun ini didapatkan dari tulisan Leukerker yaitu seorang penulis dari Belanda. Tulisan itu mengisahkan bahwa, Prabu Tawang Alun adalah salah satu keturunan dari Prabu Brawijaya, raja Majapahit dari keluarga yang telah lama menetap di pegunungan Tengger, Jawa Timur bernama Lembu Anisroyo bangsawan dari daerah Tengger, Bromo. Jadi, jelas bahwa Prabu Tawang Alun sangat berhubungan dengan Kerajaan Blambangan.
Keterkaitan antara Prabu Tawang Alun dan Banyuwangi
Karena Prabu Tawang Alun memiliki keterkaitan dengan Kerajaan Blambangan, maka otomatis Prabu Tawang Alun juga berdampak penting terhadap Kota Banyuwangi. Prabu Tawang Alun ini merupakan pendiri atau cikal bakal dari Kota Banyuwangi. Hampir tempat di Banyuwangi pernah disinggahi olehnya. Prabu Tawang Alun biasa melakukan semedi dibeberapa tempat di Banyuwangi, seperti di Kecamatan Songgon yang terbukti dengan petilasan Prabu Tawang Alun yang berada di Rowo Bayu dan khususnya di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat yang kehadirannya pada waktu itu terasa hingga sekarang dengan adanya peninggalan yang dikenal dengan “Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun”. Lokasi petilasan ini terletak di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat. Arti “petilasan” merupakan istilah yang diambil dari bahasa jawa yaitu “tilas” yang artinya bekas. Jadi, makna petilasan adalah yang menunjuk pada suatu tempat yang pernah disinggahi ataupun didiami oleh seseorang (orang yang penting). Tempat yang layak disebut petilasan biasanya adalah tempat tinggal, tempat beristirahat (dalam pengembaraan) yang relatif lama, tempat pertapaan, tempat terjadinya peristiwa penting, terkait dengan legenda. Jadi, tidak bisa dipungkiri jika “Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun” merupakan tempat yang pernah disinggahi Prabu Tawang Alun dalam urusan yang penting seperti semedi dan lainnya dalam jangka waktu yang cukup lama.

Kaitan Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun dengan Desa Macan Putih
Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun biasa disebut oleh masyarakat sebagai Situs Tawang Alun yang diyakini sebagai petilasan terakhir Prabu Tawang Alun. Petilasan ini dipercayai masyarakat setempat erat kaitannya dengan Desa Macan Putih. Di petilasan ini konon sering terdengar auman seekor macan. Menurut sejarah, dahulu kala saat Prabu Tawang Alun sedang bersemedi di Rowo Boyo tiba-tiba muncul 2 ekor macan putih, dan Prabu Tawang Alun diminta untuk menungganginya. Akhirnya macan putih menjadi pengawal setia sekaligus kendaraan Prabu Tawang Alun. Sejarah yang lain menyebutkan bahwa ketika Prabu Tawang Alun sedang bertapa ia mendapat petunjuk agar berjalan ngalor wetan dan bila dijalan bertemu macan putih, ia harus duduk diatasnya dan mengikuti perjalanan macan putih. Oleh karena itu nama Prabu Tawang Alun sering disebut-sebut oleh masyarakat sebagai orang yang erat kaitannya dengan cikal bakal Desa Macan Putih.
Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun dan fungsinya
Petilasan atau Situs Tawang Alun ini merupakan situs yang disakralkan oleh masyarakat setempat dan dipercaya bahwa situs ini merupakan bekas singgasana. Kawasan ini terletak di Keraton Macan Putih, tepi jalan raya Banyuwangi sebelum memasuki Kecamatan Rogojampi tepatnya di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat. Petilasan ini lebih mirip sebuah pendopo tempat berkumpulnya para petinggi kerajaan dengan mahkota ditengahnya dan lantai berkeramik modern yang bersih. Situs ini terletak 12 km dari kota Banyuwangi yang dahulunya tempat ini merupakan ibu kota Kerajaan Blambangan saat dipimpin oleh Prabu Tawang Alun. Saat periode inilah Kerajaan Blambangan mencapai masa kejayaan. Kerajaan Blambangan sendiri berdiri pada abad ke-13 dan runtuh pada abad ke-18. Daerah ini merupakan daerah pertama yang menganut agama islam. Berbagai benda bersejarah dapat ditemukan oleh berbagai arkeolog mulai dari batu bata bekas keraton macan putih hingga berbagai benda bersejarah lainnya. Fungsi petilasan ini adalah dahulunya digunakan sebagai tempat bersemedi/bertapa Prabu Tawang Alun dalam jangka waktu yang cukup lama.
“Berdasarkan sejarah, dulunya sebelum Prabu Tawang Alun singgah ke petilasan tersebut di daerah Kedawung, Aliyan, Kecamatan Rogojampi ada sebuah kerajaan besar yang rajanya tidak jelas namanya siapa, dalam istilah jawa raja tersebut tergolong raja yang tidak mau disebutkan namanya. Raja itu memiliki 5 orang anak diantara salah satunya ialah Prabu Tawang Alun. Dahulunya tempat ini (Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun) digunakan sebagai tempat Prabu Tawang Alun bersemedi dan dalam jangka waktu yang cukup lama”, jelas juru kunci Petilasan yang bernama mbah Nurdin. Mbah Nurdin juga menceritakan bahwa tempat ini (Petilasan Persemadian Prabu Tawang Alun) juga dijadikan pertanda bahwa dulunya di negara Indonesia akan terjadi huru-hara, dan hal ini ditandai dengan pohon tua yang menggugurkan daunnya, hingga tidak tersisa satu helai daunpun.
Sejarah petilasan/situs Tawang Alun ini berawal setelah terjadi perang saudara antara Prabu Tawang Alun dengan adiknya, Mas Wilo. Prabu Tawang Alun merasa menyesal setelah membunuh adiknya. Kemudian Prabu Tawang Alun bersemadi di hutan Rowo Bayu, Songgon. Kala itu bangsawan ini mendapat wangsit diminta berjalan ke arah timur laut. Saat bersamaan munculah seekor macan putih. Sesuai petunjuk, Prabu Tawang Alun diminta menaiki macan itu. Begitu naik, macan tersebut membawanya ke arah timur laut dan menghilang di daerah Kabat. Tempat menghilangnya harimau itulah kemudian didirikan istana bernama Macan Putih. Konon istana itu dibuat oleh Kongco Banyuwangi selama 5 tahun 10 bulan. Tinggi bentengnya diperkirakan mencapai 3 meter dengan lebar 2 meter. Kehebatan Macan Putih masih bisa ditemukan hingga sekarang, yaitu batu merah dengan ukuran yang digunakan mencapai 30x20 cm  berbahan batu cadas putih. Sejumlah benda peninggalan zaman itu juga banyak ditemukan di sekitar lokasi.
Peninggalan sejarah di Kabupaten Banyuwangi memang harus selalu dijaga oleh semua masyarakat, karena peninggalan tersebut menjadi bukti bahwa dahulunya memang pernah ada sejarah. Seperti pada Petilasan Prabu Tawang Alun yang menyimpan sejarah rakyat Banyuwangi yaitu Kerajaan Blambangan. Petilasan ini terletak di Keraton Macan Putih, tepi jalan raya Banyuwangi sebelum memasuki Kecamatan Rogojampi tepatnya di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat. Dahulunya tempat ini merupakan bekas singgasana dan tempat Prabu Tawang Alun bersemedi. Kekentalan sejarah ini terasa dengan ditemukannya peninggalan Kerajaan Blambangan berupa batu merah dengan ukuran yang digunakan mencapai 30x20 cm  berbahan batu cadas putih. Petilasan ini lebih mirip sebuah pendopo tempat berkumpulnya para petinggi kerajaan dengan mahkota ditengahnya dan lantai berkeramik modern yang bersih. Desa Macan putih juga salah satu faktor yang memicu munculnya petilasan ini dengan melibatkan seekor Macan Putih yang menjadi tunggangan sekaligus pengawal setia Prabu Tawang Alun. Dari sejarah yang melibatkan seekor macan putih itulah yang menjadikan Petilasan Prabu Tawang Alun berdiri hingga saat ini.




Gedung Inggrisan Banyuwangi Sebagai Bukti Hubungan Antara Inggris dan Kerajaan Blambangan

Pernahkah kalian mendengar kata “sulung”? Tentu kalian sudah sering mendengarnya, bukan? Ya, “sulung” adalah salah satu kosa kata dari bahasa Using yang sering diucapkan oleh masyarakat Banyuwangi? Tetapi apakah kalian tahu dari manakah asal dari kata “sulung” tersebut?. Kata “sulung” yang berarti duluan ini berasal dari kata serapan bahasa Inggris yaitu “so long”. Kata tersebut kemudian melekat pada masyarakat Banyuwangi dan telah menjadi ciri khas. Dengan demikian, hal tersebut dapat menunjukkan bahwa Inggris pernah hadir dalam kehidupan masyarakat Blambangan.
Banyuwangi adalah sebuah kota yang berada di ujung paling timur sekaligus merupakan kabupaten terluas di Pulau Jawa. Letaknya yang sangat strategis membuat Banyuwangi pernah menjadi daerah yang diperebutkan oleh beberapa kerajaan besar di Indonesia serta telah menjadi lirikan dunia sejak abad ke-16. Sebagai bukti bahwa Inggris pernah hadir di Banyuwangi, kita dapat melihatnya melalui gedung kuno yang masih berdiri sampai saat ini yaitu gedung Inggrisan.
Bangunan Inggrisan yang bergaya unieropa ini merupakan warisan sejarah yang menjadi bukti berkembangnya kawasan timur pulau Jawa sejak abad 17 silam. Diawali dengan datangnya Francis Drake yang berkebangsaan Inggris datang ke pelabuhan Ulupampang pada tahun 1579. Saat itu Francis Drake menganggap pelabuhan Ulupampang sebagai pelabuhan yang aman karena terdapat benteng alam berupa gunung di sekitarnya serta letaknya yang berada di dekat selat Bali membuatnya semakin yakin untuk singgah di Blambangan.
Selain itu, kerajaan Blambangan yang dianggap netral membuat pelabuhannya semakin ramai sedangkan pelabuhan panarukan yang sebelumnya merupakan pelabuhan andalan Portugis menjadi sepi. Hal ini disebabkan karena kerajaan Blambangan adalah satu-satunya kerajaan Hindu di Pulau Jawa, sehingga Blambangan menjalin hubungan dengan Portugis untuk mencegah serangan-seragan dari kerajaan islam. Kerajaan Blambangan yang sangat percaya akan kekuatan lautnya pun memusatkan perekonomian di Ulupampang. Mulai saat itu, pelabuhan Ulupampang menjadi sangat ramai karena menjadi pelabuhan pertemuan pedagang Nusantara dengan Inggris. Dengan demikian, sebenarnya Inggris lebih dahulu mendarat di Ulupampang daripada Belanda yang mendarat pertama kali di Nusantara pada tahun 1596 di Banten.
Blambangan yang sangat strategis dan menguntungkan menjadikannya sangat penting bagi Inggris. Hal ini terbukti ketika pada tahun 1692 Blambangan dimasukkan ke dalam peta dunia Inggris sebagai salah satu tujuan pelayarannya. Hubungan antara Blambangan dan Inggris juga semakin baik. Diketahui bahwa kehadiran Inggris pada masa pemerintahan Susuhunan Tawangalun ( 1655 sd 1690) menjadi semakin sering. Pada awalnya, kedatangan Inggris ke Ulupampang hanya sekitar enam bulan sekali, namun kemudian hampir setiap bulan kapal Inggris bersandar ke Blambangan. Karena hal tersebut, maka pemerintah Blambangan memutuskan untuk membangunkan sebuah bangunan penginapan bagi para saudagar ini. Bangunan tersebut kemudian dikenal sebagai Logde yang artinya penginapan oleh masyarakat Blambangan.
Bangunan Logde atau sekarang “Inggrisan” dibangun pada tahun 1736-1757 oleh rakyat Blambangan. Bangunan ini dibangun untuk dijadikan sebagai penginapan bagi para pedagang Inggris yang bersandar di Ulupampang. Pembangunan gedung tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Raja Danuningrat yaitu kakak dari Agung Wilis yang memerintah Kerajaan Blambangan pada 1736-1763. Akan tetapi, setelah pembangunan gedung ini selesai, Inggris kemudian berniat untuk menjajah Blambangan. Hingga akhirnya, tepatnya pada tahun 1763 Inggris mulai menguasai Blambangan. Atas rekomendasi EIC yaitu kongsi dagang milik Inggris, pada tahun 1766 Inggris kemudian membangun kantor dagangnya di bandar kecil di Banyuwangi. Kantor dagang ini kemudian diberi nama Tirtoganda atau Toyaarum. Dengan adanya kantor dagang tersebut kedudukan Inggris di Blambangan pun semakin menguntungkan.
Pada dasarnya secara tidak langsung keberadaan Gedung Inggrisan ini merupakan salah satu penyebab terjadinya perang Puputan Bayu. Setelah Inggris mendirikan EIC pada tahun 1600, Belanda yang merasa tersaingi pun ikut mendirikan kongsi dagang yang kemudian dikenal sebagai VOC pada tanggal 20 Maret 1602. Kedudukan VOC di Indonesia telah melebihi dari sekedar kongsi dagang biasa. Akan tetapi meskipun VOC telah menduduki Indonesia, VOC masih belum tertarik akan Blambangan. Namun setelah mengetahui hubungan antara Inggris dan Blambangan yang semakin erat dengan dibangunnya gedung Lodge, VOC mulai merasa khawatir. Hingga akhirnya ketika VOC mengetahui bahwa EIC telah membangun kantor dagangnya di Blambangan dan Inggris telah menguasai Blambangan hingga berjaya, VOC pun mulai berencana untuk menyerang Blambangan.
Pada tahun 1767, dengan persiapan yang sangat matang, setelah menyerbu Panarukan VOC bergerak cepat menuju Blambangan. Dengan kekuatan armada yang besar, tanggal 31 Maret 1767 Banyualit telah berhasil dikuasai VOC dengan mudah. Blambangan pun jatuh ke tangan VOC dan Tirtaganda berhasil direbut. Setelah berhasil memperoleh kemenangan atas Blambangan, VOC kemudian membangun sebuah benteng di Banyualit.
Akibat dari penyerangan ini, rakyat Blambangan tidak bisa tinggal diam. Para pejuang Blambangan dengan gigih terus melakukan perlawanan terhadap VOC sehingga menyebabkan timbulnya peperangan antara VOC dengan Blambangan selama 5 tahun lamanya (1767-1772). Diantara perang tersebut terdapat 1 perang yang sangat dikenang sebagai perang tersadis sepanjang sejarah yaitu perang Puputan Bayu. Perjuangan para pejuang Blambangan tidak dapat dianggap remeh, meskipun akhirnya Blambangan tetap dikuasai VOC tetapi terbukti bahwa setelah perang ini usai VOC mengalami kebangkrutan.
Setelah Blambangan telah dikuasai VOC, gedung Inggrisan selanjutnya menjadi milik Belanda. Gedung tersebut kemudian berganti nama menjadi “Singodilanga” dan dijadikan sebagai asrama para perwira Belanda. Tidak hanya itu, Belanda juga membangun lorong-lorong rahasia yang terhubung langsung dengan Kali Lo (selatan) dan Pantai Boom (timur). Lorong – lorong tersebut sebenarnya hanya merupakan bangker dengan ukuran + 1.5 m x 1 dan tinggi 2 m.
Namun kedudukan Belanda di Blambangan tidak berlangsung sangat lama. Setelah kekalahan Belanda atas Perancis, kekuasaan di Nusantara pun diambil alih Perancis. Meskipun di bawah pimpinan Perancis, Nusantara masih menjadi jajahan Belanda. Hingga akhirnya, Sir Stanford Raffless dari Inggris datang dan merebutnya kembali. Kekalahan Belanda lantas memaksa Belanda untuk menyerahkan derah jajahannya kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang pada 11 September 1811. Sejak saat itu, Nusantara termasuk Blambangan kembali berada dibawah kendali Inggris.
Kedatangan Inggris ke Blambangan telah membawa pembaharuan bagi Blambangan. Gubernur Jenderal Sir Stanford Raffless (1811-1816) adalah satu-satunya Gubernur Jenderal yang datang ke Blambangan dan kemudian sangat terkagum-kagum akan kekayaan Blambangan. Atas kekagumannya itu, Inggris kemudian memperbaiki keadaan Blambangan. Inggris membangun kembali jalan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi ke Kalibaru, dan membangun kembali kota Banyuwangi yang jejaknya masih nampak sampai saat ini. Disamping itu, Inggris juga membuka perkebunan kopi ,teh , di tepi G.Raung dan perkebunan pisang serta pabrik beras. Tidak hanya itu, pelabuhan Banyuwangi juga dibangun kembali.
Suatu sumber mengatakan bahwa, setelah ditemukannya Australia, fungsi dari gedung Inggrisan ini berubah menjadi stasiun kabel telegrap stray bawah laut milik Inggris. Stasiun kabel ini merupakan titik penghubung komunikasi antara pihak Inggris dengan Australia. Diketahui bahwa saat itu Inggris yang sedang melakukan revolusi memberikan penemuan baru kepada dunia yaitu telegraf. Hingga kemudian pada tahun 1870, British-Australian Telegraph Company memasang kabel dengan rute dari Banyuwangi ke Darwin. Rute ini merupakan salah satu bagian dari proyek menghubungkan dunia melalui kabel. Akan tetapi kemudian jalur kabel ini dihancurkan oleh Jepang.
Pada dasarnya, kekuasaan Inggris di Nusantara telah berakhir pada tahun 1814. Hal tersebut dikarenakan Inggris menndatangani konferensi London dan menyerahkan Indonesia kembali kepada Belanda. Meskipun demikian, Inggris tetap melakukan kerjasama dengan Blambangan melalui Ulupampang sebagai penghubungnya dengan Australia.
Gedung Inggrisan kembali dikuasai Belanda dan dijadikan markas serta asrama perwira kembali selama ratusan tahun. Seiring dengan  kedatangan Jepang ke Indonesia, bangunan ini berpindah tangan dan kemudian dipakai sebagai markas Kanpetai Jepang. Kemudian mulai pasca kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949, bangunan ini beralih fungsi lagi, yaitu sebagai markas Batalion Macan Putih. Hingga akhirnya kini gedung Inggrisan berfungsi sebagai rumah dinas para anggota Kodim 0825 Banyuwangi.
Gedung Inggrisan yang terus beralih fungsi tersebut menjadikannya memiliki banyak nama julukan. Sebagian masyarakat mengenalnya dengan nama Gedung Loji yang berasal dari Lodge, sebagian lagi menyebutnya sebagai gedung Inggrisan, Komplek Inggrisan, dan Asrama Inggrisan. Meskipun dengan berbagai nama julukan, gedung ini tetap dikenang dengan nama “Inggrisan” oleh masyarakat Banyuwangi.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa gedung Inggrisan merupakan salah satu bagian penting dari perjalanan sejarah Banyuwangi yang harus dilestarikan. Bangunan Inggrisan ini merupakan bukti bahwa Kerajaan Blambangan pernah menjalin hubungan baik dengan Inggris. Hubungan yang terjalin tersebut telah menunjukkan bahwa betapa strategisnya Blambangan sehingga Inggris menganggapnya sangat berharga. Hubungan baik antara Inggris dan Blambangan ini juga terlihat sampai saat ini melalui julukannya. Meskipun bangunan Ini hanya ditempati oleh Inggris beberapa tahun saja, dan telah berpindah tangan serta beralih fungsi beberapa kali, bangunan ini tetap dikenal sebagai “Inggrisan”. Akan tetapi, pada kenyataannya gedung Inggrisan saat ini terbengkalai dan tak terawat. Maka dari itu, kami berharap kepada pemerintah dan juga seluruh rakyat Banyuwangi agar dapat menjaga serta melestarikan cagar budaya yang sangat penting ini.
BERBUDAYA DALAM KEPRIBADIAN NYATA
BARONG USING DALAM RITUAL IDER BUMI DI DESA KEMIREN”

            Banyuwangi merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang mengembangkan potensi wisata di bidang kebudayaan. Kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa dan memiliki wilayah darat seluas 578,250 ha dan wilayah laut seluas 175 x sepertiga wilayah laut Provinsi Jawa Timur ini merupakan kota yang memiliki segudang kebudayaan lokal dengan segala keunikannya masing-masing. Dari asal mula kebudayaan-kebudayaan itu tercipta hingga pelestarian dan pengimplementasian kebudayaan itu di tengah masyarakat Banyuwangi di era globalisasi dan westernisasi yang sedang melanda Indonesia saat ini. Kota Banyuwangi memiliki penduduk sebanyak 1.647.003 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 840.518 jiwa dan perempuan sebanyak 833.485 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,50 % (data statistik tahun 2007). Kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rata-rata 251 jiwa per km2 ini, mampu menghasilkan beranekaragam kebudayaan unik. Predikat masyarakat multikultural juga pantas disandang oleh Kota Banyuwangi, dengan berbagai populasi suku yang ada, di antaranya adalah suku Jawa yang paling dominan, disusul suku Using dan suku Madura. Tak heran jika akulturasi dan berbagai macam kebudayaan lahir di sini. Suku Using merupakan suku lokal dan suku asli di Banyuwangi, persebarannya meliputi Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Giri, Kecamatan Glagah, Kecamatan Kabat, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Songgon, Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan Gambiran, dan Kecamatan Genteng. Salah satu kebudayaan suku Using adalah Barong Using atau Barong Kemiren karena kebudayaan ini dapat ditemukan di Desa Kemiren.
            Barong dalam budaya Using dideskripsikan sebagai binatang keramat yang dapat dijumpai di berbagai belahan bumi sebagai binatang di dalam mitos-mitos berbagai suku bangsa. Barong ini dianggap binatang yang memiliki kekuatan magis, bahkan dianggap suci oleh yang mempercayainya. Secara khusus binatang mitologi yang dapat dijumpai di Pulau Jawa salah satunya adalah Barong. Dalam konteks seni pertunjukan, Th. G. Th. Pigeaud dalam bukunya yang berjudul Javaanse Volksvertoningen menyebut Barong (Jawa:Barongan) dengan istilah “penyamaran”, yaitu pertunjukan yang menggambarkan binatang, hantu atau makhluk dari alam lain. Dalam bukunya, Pigeaud mengungkap persebaran Barong-barong itu di berbagai daerah terutama di Pulau Jawa dengan mengklasifikasikannya berdasarkan letak geografis. Secara geografis terbagi dalam tiga wilayah dari barat ke timur yang meliputi: Jawa Barat yaitu tanah Pasundan (sebelah barat Swapraja), tanah Kejawen (daerah Swapraja) dengan Madura, dan tanah seberang (sebelah timur Swapraja) yaitu ujung timur Pulau Jawa (Banyuwangi). Ciri umum yang dimiliki kesenian Barong adalah selalu di alam terbuka dan kerap kali di dalam bentuk prosesi. Di Banyuwangi sendiri sampai saat ini masih hidup berbagai kesenian Barong dan masih fungsional di masyarakatnya. Berbagai kesenian Barong tersebut di antaranya adalah: Barong Dhadhak Merak dalam pertunjukan kesenian Reog Ponorogo, Barong Bali (sejenis barong menyerupai Barong keket dari Bali dan biasanya terdapat dalam pertunjukan kesenian Jaranan (Jathilan), Barong Cina (barongsae), dan Barong Banyuwangi yang lazim disebut dengan Barong Using. Barong-barong tersebut pada mulanya merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral, dan disajikan dalam berbagai ritual. Pertunjukan Barong sudah menjadi bagian dari ritual. Akan tetapi, lambat laun nilai kesakralan tersebut mulai menipis, sejalan dengan perkembangan peradaban masyarakat Banyuwangi yang mengikuti era globalisasi.
            Barong Using adalah kesenian Barong yang diciptakan oleh masyarakat Using, sedangkan masyarakat Using adalah penduduk asli Banyuwangi. Wujud Barong Using memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan bentuk Barong lain yang ada di Banyuwangi. Barong Using memiliki tampang wajah menyerupai bentuk kala atau topeng raksasa dengan mata melotot, bercula, berkumis, bertaring, berjambang atau berjenggot, kepala berambut, memakai mahkota (tropong) dilengkapi dengan gelung supit urang seperti mahkota yang dipakai oleh tokoh raja dalam wayang, dan bersayap di sebelah kanan dan kiri. Pertunjukannya dapat berbentuk arak-arakan, dramatari, maupun yang lainnya.
            Pertunjukan Barong Using termasuk yang banyak diminati masyarakat Banyuwangi, baik mereka yang tinggal di kota maupun yang tinggal di pedesaan. Minat itu tampak dari antusias mereka untuk menyaksikan dan mengundang kesenian Barong Using sebagai sarana hiburan pada pesta-pesta perkawinan, khitanan, hajatan, dan perayaan-perayaan lainnya. Saat ini terdapat lebih dari seratus grup kesenian Barong Using yang tersebar di beberapa daerah kecamatan di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Secara umum dalam pertunjukannya sudah bersifat profit. Akan tetapi ada satu grup kesenian Barong Using yang masih menyelenggarakan pertunjukan untuk tujuan yang bersifat sakral. Kesenian Barong sakral tersebut terdapat di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, dan Barong tersebut lebih dikenal oleh masyarakat Banyuwangi dengan sebutan Barong Kemiren. Ciri khas dari Barong Kemiren, selain pertunjukannya bersifat sakral, juga merupakan satu-satunya grup kesenian Barong di Banyuwangi yang hingga kini masih tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Using. Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi menyebut Barong Using sebagai barong yang berasal dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.
            Kesakralan Barong Kemiren dapat dilihat dalam penyelenggaraan ritual Ider Bumi atau upacara selamatan desa yang selalu diselenggarakan pada hari raya kedua Idul Fitri. Setiap penyelenggaraan ritual Ider Bumi di Desa Kemiren, suatu keharusan mengarak Barong berkeliling melintasi seluruh wilayah desa. Prosesi itu merupakan bagian ritual yang sangat penting bagi masyarakat. Mereka mempercayai bahwa prosesi Barong yang melintasi seluruh wilayah desa tersebut dapat menyelamatkan mereka dari malapetaka, dan sebaliknya apabila ritual itu tidak dilakukan maka mereka akan mendapat malapetaka. Musibah itu dapat timbul sebagai wujud kemarahan dhanyang desa, yaitu roh atau arwah Buyut Cili sebagai penjaga Desa Kemiren yang merasa tidak diperhatikan lagi oleh masyarakat.
            Setelah ritual mengarak Barong, pada malam harinya dilanjutkan penyelenggaraan pentas dramatari Barong. Uniknya, dalam setiap pertunjukan dramatari Barong, tokoh Barong selalu mengalami kesurupan (possessed). Hal ini menandakan bahwa roh Buyut Cili telah datang kemudian masuk ke dalam diri tokoh Barong, dan itu berarti bahwa tujuan ritual dengan media pertunjukan Barong telah mendapat restu dari dhanyang. Menurut anggapan yang berkembang di masyarakat, asal-usul lahirnya kesenian Barong di Desa Kemiren berasal dari legenda tentang cikal bakal pendiri desa yaitu Buyut Cili. Ia merupakan tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai dhanyang Desa Kemiren.
            Barong Kemiren memiliki fungsi sebagai media penghubung utama antara masyarakat dengan roh leluhur Desa Kemiren. Meskipun di Desa Kemiren sendiri terdapat berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional, tetapi tidak pernah digunakan sebagai sarana dalam ritual selamatan desa Ider Bumi. Fungsi Barong Kemiren secara primer sebagai media utama dalam ritual Ider Bumi. Posisinya tidak bisa digantikan oleh berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional lainnya yang terdapat di Desa Kemiren.
            Selain daya tarik pada fungsinya, Barong Kemiren merupakan salah satu artefak yang bergerak. Pertunjukan Barong secara keseluruhan menyimpan berbagai simbol yang sarat dengan berbagai makna. Baik makna yang ada di dalam realitas sosial maupun makna yang masih terkonsepsikan dan berkembang dalam masyarakat, maupun makna yang tersirat dan hanya bisa diungkap melalui penelitian lapangan yang lebih intensif.
            Barong Using disebut juga dengan Barong Blambangan, dan ada pula yang menyebutnya Barong Banyuwangi. Istilah-istilah itu semua dimaksudkan untuk menyebut salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat tradisional yang hidup di daerah Banyuwangi, yaitu kesenian Barong. Pemberian istilah-istilah tersebut mengacu pada sebutan masyarakat pendukung kesenian itu sendiri, yakni masyarakat Using sebagai penduduk asli Banyuwangi, yang merupakan keturunan rakyat Kerajaan Blambngan.
            Pigeaud dalam buku Javaanse Volkvertoningen, secara khusus mengungkap bahwa kesenian Barong atau pertunjukan penyamaran di ujung timur Pulau Jawa (Banyuwangi) bukan asli Jawa tetapi dari Bali. Barong masuk ke Banyuwangi diperkirakan pada pertengahan abad ke-19 dibawa oleh beberapa orang terkemuka dari Bali yang terpaksa tinggal di Banyuwangi, karena di Bali saat itu sedang terjadi kekacauan. Setelah pertunjukan penyamaran dari Bali masuk ke Banyuwangi, pertunjukan itu sering dibawakan oleh kelompok kesenian Gandrung yang penarinya adalah anak laki-laki.
            Pendapat Pigeaud yang menyatakan bahwa Barong Banyuwangi berasal dari Bali, agaknya berbeda dengan beberapa versi yang berkembang di Banyuwangi. Salah satu versi menyatakan, bahwa Barong Banyuwangi asalnya dari negeri Cina, masuk ke Indonesia pada zaman Majapahit. Kemudian pada akhir zaman keemasan Majapahit, kesenian Barong lewat Banyuwangi masuk ke Bali.
            Informasi mengenai asal-usul Barong dari Cina juga diungkap oleh beberapa pakar. I Made Bandem dan Eugene de Boer dalam bukunya Balinese Dance in Transition, mengutarakan bahwa nenek moyang Barong adalah Tari Singa Cina yang muncul pada zaman Dinasti T’ang abad ke-7 sampai abad ke-10 kemudian menyebar hingga ke daerah Asia Timur. Pada zaman itu telah ada hubungan kesenian dan hubungan dagang antara Cina dengan beberapa negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Penyebaran Tari Singa Cina di berbagai wilayah Asia Timur sampai ke Malaysia. Berdasarkan keterangan yang ada bahwa Tari Singa Malaysia dibawa oleh pendatang dari Cina. Di Malaysia, Tari Singa melambangkan keharmonisan, keamanan, dan kebahagiaan, serta berfungsi untuk merayakan Tahun Baru Cina, juga pesta-pesta perkawinan. Claire Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia juga memberi petunjuk. Setelah mengidentifikasi adanya persamaan bentuk antara Tari Singa Cina dengan Barong di Jawa dan Bali yang berfungsi sebagai penangkal kejahatan, maka Holt berkesimpulan bahwa Barong berasal dari Cina. Dalam penjelasannya, Barong yang berbentuk singa di Jawa Timur dan Bali berhubungan dengan gelar “Yang Dipertuan dari Hutan” atau “Yang Dipertuan Harimau” juga memiliki hubungan dengan “Kirttimukha-Kala-Banaspati”, yaitu binatang mitologi yang menjadi pelindung bagi bangunan-bangunan suci. Ditegaskan pula oleh Holt, bahwa “evolusi Barong di Jawa dan Bali tak meragukan lagi sangat kompleks, dan benang-benang yang menghubungkannya dengan binatang-binatang mitologi dari negara lain kemungkinan besar bersilangan dan terjalin”.
            Dari keterangan-keterangan di atas dapat diasumsikan, bahwa asal-usul seni pertunjukan Barong dari Cina, dan kemungkinan puncak perkembangan atau penyebarannya ke seluruh Nusantara terjadi pada zaman Majapahit. Hubungan erat antara Kerajaan Majapahit dengan beberapa Kerajaan di Cina, selain karena faktor perdagangan juga ikatan perkawinan. Para pedagang Cina waktu itu banyak yang menjalin hubungan perkawinan dengan para keluarga ningrat dan keturunan mereka banyak menjadi pejabat kerajaan di daerah, misalnya patih atau panca-tandha. Demikian juga sebaliknya banyak bangsawan Majapahit yang menikah dengan putri-putri dari Cina, bahkan permaisuri Raja Brawijaya IV yang bernama Ratu Darawati juga seorang putri dari Kerajaan Campa dari Cina. Dalam berbagai literatur disebutkan, menurut tradisi Cina perayaan penyambutan tahun baru maupun perkawinan biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan Tari Singa (Barongsae). Oleh karena itu, dengan kekuasaan Majapahit yang sedemikian besar, yakni meliputi seluruh Nusantara sampai Semenanjung Malaka bahkan beberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara, maka sangat dimungkinkan penyebaran Barong ke berbagai daerah terutama daerah kekuasaan Majapahit. Tak terkecuali juga Blambangan sebagai negara bagian wilayah Majapahit yang disebut juga disebut Kedaton Wetan. Demikian halnya pengaruh besar budaya Kerajaan Majapahit terhadap Bali ketika Kerajaan ini mengadakan ekspansi ke Bali pada awal tengah kedua abad ke-14. Bahkan ketika Jawa Timur di bawah panji-panji Islam pada akhir abad ke-15, banyak sekali penduduk Jawa Timur termasuk para budayawannya yang mengungsi ke Bali karena tidak mau memeluk agama Islam. Asumsi ini lebih diperkuat lagi dengan adanya pandangan “istana sentris” sebagaimana yang diutarakan oleh Umar Kayam dalam buku Seni, Tradisi, Masyarakat.
            Keterangan mengenai asal-usul Barong Using menurut versi lain juga berbeda pandangan. Totok Harianto dalam tulisan berjudul “Kesenian Singo Barong Merupakan Kesenian Asli Banyuwangi” mengungkapkan bahwa, berdasarkan beberapa unsur pertunjukan yang ada seperti tema cerita, penokohan, alur, maupun setting, juga merupakan bentuk wadhag (prototipe) dari tokoh Barong Using tidak memiliki kesamaan dengan unsur-unsur bentuk prototipe Barong lain, baik itu Barong dari Jawa, Bali, maupun Cina. Oleh karena itu, Barong Using merupakan kesenian asli masyarakat Banyuwangi.
            Beberapa pendekatan dapat dijadikan bukti pendukung, bahwa sebenarnya prototipe Barong Using merupakan personifikasi atau penyesuaian dari ikonografi bentuk-bentuk Kirttimukha-Kala-Banaspati atau lebih tepatnya bentuk singa bersayap yang terdapat pada relief-relief candi maupun bangunan makam para wali di Jawa Timur. Singa bersayap sebagai binatang mitologi pelindung dari kejahatan, ternyata juga dikenal oleh berbagai peradaban manusia di berbagai belahan bumi, termasuk Banyuwangi.
            Unsur-unsur lain sebagai ciri khas prototipe Barong Using adalah mahkota (mekutha atau tropong) yang dikombinasikan dengan jamang dan gelung supit urang. Penggunaan atribut mahkota merupakan hal yang tidak lazim ditemui pada prototipe Barong pada umumnya. Mahkota berbentuk tropong dan gelung motif supit urang lazim dipakai sebagai atribut busana oleh tokoh-tokoh kesatria dalam kesenian Wayang (Wayang Wong). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari unsur-unsur seni.
***
            Upacara Ider Bumi di Desa Kemiren. Kemiren merupakan sebuah desa yang berada di sebelah barat Kota Banyuwangi. Jarak antara Desa Kemiren dengan Kota Banyuwangi kurang lebih 6 kilometer, sedangkan dengan pusat pemerintahan Kecamatan Glagah sekitar dua kilometer, dan sudah dihubungkan dengan fasilitas jalan beraspal yang relatif baik. Di samping itu, sarana angkutan umum juga sudah tersedia sehingga mempermudah arus komunikasi dan transportasi.
            Berbagai ritual yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kemiren, pada dasarnya ditujukan kepada tokoh mitos ialah Buyut Cili yang dianggap sebagai penguasa atau dhanyang Desa Kemiren. Dalam kepercayaan masyarakat Kemiren, Buyut Cili dianggap sebagai cikal bakal yang telah membuka Desa Kemiren. Masyarakat Desa Kemiren percaya bahwa mereka berasal dari satu garis keturunan dengan Buyut Cili. Oleh karena itu, Buyut Cili dianggap memiliki kekuatan serta unsur-unsur tertentu yang dapat melegitimasikannya sebagai tokoh mitos, sehingga mendorong masyarakat pendukungnya ke arah ritualisasi.
            Mengenai asal-usul Buyut Cili, beberapa sumber menyebutkan secara lisan. Pada waktu terjadi “geger Mataram”, datanglah pelarian suami-istri bernama Marjana dan Marni ke Kerajaan Macan Putih. Marjana semula adalah seorang prajurit Mataram yang melarikan diri dan mengungsi ke Blambangan. Setibanya di Blambangan, Marjana mengabdikan diri di Kerajaan Macan Putih. Ketika itu, Kerajaan Macan Putih diperintah oleh Raja Tawang Alun yang memiliki peliharaan macan putih. Konon karena kesaktiannya, sang macan putih tidak mau memakan daging hewan, melainkan hanya mau memakan daging manusia. Untuk memberi makan macan putih tersebut, setiap beberapa hari sekali Prabu Tawang Alun menyuruh prajuritnya ke desa-desa untuk mencari warganya yang cacat fisik, untuk kemudian diboyong ke istana. Ternyata mereka yang diboyong ke istana tersebut tidak pernah kembali. Terdengar desas-desus bahwa mereka telah dijadikan santapan macan putih peliharaan Prabu Tawang Alun.
            Pada suatu ketika istri Marjana mendapat giliran untuk diboyong ke istana, karena dianggap cacat fisik, bertubuh kecil dan kurus. Menghadapi keadaan yang demikian, Marjana dan istrinya melarikan diri, menyingkir dari Kerajaan Macan Putih. Menyingkir dan mengungsi, dalam istilah Using disebut “ngili”. Dalam perjalanan ngili sampailah di hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon durian dan kemiri. Di sinilah Marjana dan istrinya babat alas untuk kemudian menjadikannya sebuah desa yang diberi nama Kemiren. Oleh karena Marjana pernah ngili dan dianggap sebagai cikal bakal yang telah membuka Desa Kemiren, maka keturunannya yang menempati Desa Kemiren memberi julukan Buyut Ngili dan akhirnya luluh dalam pengucapannya menjadi Buyut Cili atau Bo Cili. Di tempat ini pula Buyut Cili dan istrinya meninggal dunia dan dimakamkan.
            Letak makam Buyut Cili berada di tengah-tengah sawah penduduk tepatnya di daerah Sukasari, dalam wilayah Kemiren Timur (Dusun Kedaleman). Sukasari adalah nama daerah yang dulunya terdapat pohon suka yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Desa Kemiren. Akan tetapi sekarang pohon itu sudah tidak ada dan yang tersisa tinggal batu nisan saja yang diyakini masyarakat sebagai makam Buyut Cili dengan istrinya. Setiap malam Senin dan malam Jum’at banyak di antara masyarakat Kemiren yang melakukan ziarah ke makam Buyut Cili.
            Bagi masyarakat Kemiren, mitos Buyut Cili merupakan simbol kekuatan kosmos. Mitos tentang Buyut Cili meruapakan wacana sakral yang dihadirkan sebagai pusat dalam praktek-praktek religi mereka. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berimplikasi kebaikan, baik secara personal (individu) maupun komunal (umum) selalu dimohonkan padanya. Arwah Buyut Cili dipercaya dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi masyarakat Kemiren yang ingin hajatnya dapat terkabul harus melalui perantara Buyut Cili. Bahkan nama Buyut Cili sebagai pepundhen harus disebut pertama kali dalam rangka memulai suatu pekerjaan yang dianggap berat dan penting. Sebagai contoh, saat akan menanam padi, panen, memasak santan kelapa untuk dijadikan minyak goreng, membangun rumah baru (termasuk rumah ibadah), memperbaiki rumah lama, hendak melahirkan, hendak mengadakan hajatan, hendak menikah, hendak memainkan musik atau menari, hendak memperbaiki jalan dan sebagainya. Semua itu disyarati dengan menyelenggarakan selametan di makam Buyut Cili. Hal itu dimaksudkan untuk memohon perlindungan dari hal-hal yang bisa mengundang malapetaka.
            Mitos Buyut Cili diyakini oleh masyarakat Kemiren sebagai mitos yang benar-benar terjadi dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Masyarakat Kemiren menganggap mitos ini sebagai sesuatu yang sangat sakral dan keramat sehingga masyarakat merasa takut bila tidak menghormatinya. Hal itu diterima masyarakat sebagai sesuatu yang positif, sehingga tidak perlu dipertanyakan kebenarannya.
***
            Istilah Ider Bumi berasal dari kata ider dan bumi. Ider yang berarti beredar atau berputar yaitu berjalan mengelilingi, sedangkan Bumi (bumi) yang berarti tanah dasar. Dengan demikian Ider Bumi artinya mengelilingi seluruh wilayah desa, yaitu daerah yang menjadi tempat hunian dan tumpuan mata pencaharian hidup sekelompok manusia.
            Kegiatan Ider Bumi sangat lazim ditemukan dalam kehidupan masyarakat Using Banyuwangi. Penyelenggaraan Ider Bumi selalu dilakukan dalam bentuk arak-arakan atau pawai dengan mengarak sesuatu, dapat berupa benda-benda sesaji seperti tumpeng, pakaian, peralatan senjata/pusaka, dan yang paling sering adalah arak-arakan pertunjukan kesenian. Arak-arakan Ider Bumi biasanya juga dilakukan dalam rangka penyelenggaraan upacara selamatan desa atau upacara bersih desa, yaitu suatu tradisi selamatan desa secara adat yang ada pada umumnya diselenggarakan setahun sekali.
            Di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, upacara selamatan desa semacam itu disebut Ider Bumi, karena yang menjadi acara pokok dalam penyelenggaraannya adalah kegiatan arak-arakan berkeliling seluruh wilayah desa. Dalam kegiatan Ider Bumi yang diarak adalah kesenian Barong. Barong sebagai tokoh utama dalam kesenian ini dianggap sebagai penjelmaan dari Buyut Cili, yaitu tokoh mitologi yang dipercayai sebagai cikal bakal yang telah berjasa merintis pembukaan Desa Kemiren.
            Mengenai asal mula adanya upacara Ider Bumi di Desa Kemiren menurut sumber yang ada, baik secara lisan maupun tertulis menyebutkan sebagai berikut: “Dahulu kala di Desa Kemiren banyak rakyat yang diserang wabah penyakit yang disebut blindheng, sehingga bila tidur bergerombol atau berkumpul karena takut diserang wabah tersebut. Pagi sakit sorenya meninggal, dan sore sakit paginya meninggal. Pada waktu itu juga sawah para petani banyak diserang tikus yang datangnya bersamaan dengan penyakit tersebut. Lantas ada orang tua yang ziarah ke makam Buyut Cili untuk memohon bantuan. Oleh Arwah Buyut Cili disuruhnya orang tua tersebut menyelenggarakan arak-arakan melintasi seluruh desa. InsyaAllah orang-orang yang sakit dapat sembuh dan pulih kembali. Kemudian ada orang-orang yang mengadakan selamatan di makam Buyut Cili, ada pula yang mandi di sungai (kedhung) Rum, dan semua rakyat juga mengadakan selamatan di lingkungannya masing-masing. Sampai saat ini kebiasaan itu dilakukan setiap hari raya idul fitri hari kedua yang disebut selamatan Ider Bumi. Sejak dahulu kala sampai sekarang upacara Ider Bumi menjadi tradisi masyarakat Kemiren. Itulah wujud selamatan Ider Bumi di Desa Wisata Using yaitu Desa Kemiren.