Jumat, 13 Mei 2016

BERBUDAYA DALAM KEPRIBADIAN NYATA
BARONG USING DALAM RITUAL IDER BUMI DI DESA KEMIREN”

            Banyuwangi merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang mengembangkan potensi wisata di bidang kebudayaan. Kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa dan memiliki wilayah darat seluas 578,250 ha dan wilayah laut seluas 175 x sepertiga wilayah laut Provinsi Jawa Timur ini merupakan kota yang memiliki segudang kebudayaan lokal dengan segala keunikannya masing-masing. Dari asal mula kebudayaan-kebudayaan itu tercipta hingga pelestarian dan pengimplementasian kebudayaan itu di tengah masyarakat Banyuwangi di era globalisasi dan westernisasi yang sedang melanda Indonesia saat ini. Kota Banyuwangi memiliki penduduk sebanyak 1.647.003 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 840.518 jiwa dan perempuan sebanyak 833.485 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,50 % (data statistik tahun 2007). Kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rata-rata 251 jiwa per km2 ini, mampu menghasilkan beranekaragam kebudayaan unik. Predikat masyarakat multikultural juga pantas disandang oleh Kota Banyuwangi, dengan berbagai populasi suku yang ada, di antaranya adalah suku Jawa yang paling dominan, disusul suku Using dan suku Madura. Tak heran jika akulturasi dan berbagai macam kebudayaan lahir di sini. Suku Using merupakan suku lokal dan suku asli di Banyuwangi, persebarannya meliputi Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Giri, Kecamatan Glagah, Kecamatan Kabat, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Songgon, Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan Gambiran, dan Kecamatan Genteng. Salah satu kebudayaan suku Using adalah Barong Using atau Barong Kemiren karena kebudayaan ini dapat ditemukan di Desa Kemiren.
            Barong dalam budaya Using dideskripsikan sebagai binatang keramat yang dapat dijumpai di berbagai belahan bumi sebagai binatang di dalam mitos-mitos berbagai suku bangsa. Barong ini dianggap binatang yang memiliki kekuatan magis, bahkan dianggap suci oleh yang mempercayainya. Secara khusus binatang mitologi yang dapat dijumpai di Pulau Jawa salah satunya adalah Barong. Dalam konteks seni pertunjukan, Th. G. Th. Pigeaud dalam bukunya yang berjudul Javaanse Volksvertoningen menyebut Barong (Jawa:Barongan) dengan istilah “penyamaran”, yaitu pertunjukan yang menggambarkan binatang, hantu atau makhluk dari alam lain. Dalam bukunya, Pigeaud mengungkap persebaran Barong-barong itu di berbagai daerah terutama di Pulau Jawa dengan mengklasifikasikannya berdasarkan letak geografis. Secara geografis terbagi dalam tiga wilayah dari barat ke timur yang meliputi: Jawa Barat yaitu tanah Pasundan (sebelah barat Swapraja), tanah Kejawen (daerah Swapraja) dengan Madura, dan tanah seberang (sebelah timur Swapraja) yaitu ujung timur Pulau Jawa (Banyuwangi). Ciri umum yang dimiliki kesenian Barong adalah selalu di alam terbuka dan kerap kali di dalam bentuk prosesi. Di Banyuwangi sendiri sampai saat ini masih hidup berbagai kesenian Barong dan masih fungsional di masyarakatnya. Berbagai kesenian Barong tersebut di antaranya adalah: Barong Dhadhak Merak dalam pertunjukan kesenian Reog Ponorogo, Barong Bali (sejenis barong menyerupai Barong keket dari Bali dan biasanya terdapat dalam pertunjukan kesenian Jaranan (Jathilan), Barong Cina (barongsae), dan Barong Banyuwangi yang lazim disebut dengan Barong Using. Barong-barong tersebut pada mulanya merupakan seni pertunjukan yang bersifat sakral, dan disajikan dalam berbagai ritual. Pertunjukan Barong sudah menjadi bagian dari ritual. Akan tetapi, lambat laun nilai kesakralan tersebut mulai menipis, sejalan dengan perkembangan peradaban masyarakat Banyuwangi yang mengikuti era globalisasi.
            Barong Using adalah kesenian Barong yang diciptakan oleh masyarakat Using, sedangkan masyarakat Using adalah penduduk asli Banyuwangi. Wujud Barong Using memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan bentuk Barong lain yang ada di Banyuwangi. Barong Using memiliki tampang wajah menyerupai bentuk kala atau topeng raksasa dengan mata melotot, bercula, berkumis, bertaring, berjambang atau berjenggot, kepala berambut, memakai mahkota (tropong) dilengkapi dengan gelung supit urang seperti mahkota yang dipakai oleh tokoh raja dalam wayang, dan bersayap di sebelah kanan dan kiri. Pertunjukannya dapat berbentuk arak-arakan, dramatari, maupun yang lainnya.
            Pertunjukan Barong Using termasuk yang banyak diminati masyarakat Banyuwangi, baik mereka yang tinggal di kota maupun yang tinggal di pedesaan. Minat itu tampak dari antusias mereka untuk menyaksikan dan mengundang kesenian Barong Using sebagai sarana hiburan pada pesta-pesta perkawinan, khitanan, hajatan, dan perayaan-perayaan lainnya. Saat ini terdapat lebih dari seratus grup kesenian Barong Using yang tersebar di beberapa daerah kecamatan di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Secara umum dalam pertunjukannya sudah bersifat profit. Akan tetapi ada satu grup kesenian Barong Using yang masih menyelenggarakan pertunjukan untuk tujuan yang bersifat sakral. Kesenian Barong sakral tersebut terdapat di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, dan Barong tersebut lebih dikenal oleh masyarakat Banyuwangi dengan sebutan Barong Kemiren. Ciri khas dari Barong Kemiren, selain pertunjukannya bersifat sakral, juga merupakan satu-satunya grup kesenian Barong di Banyuwangi yang hingga kini masih tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Using. Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi menyebut Barong Using sebagai barong yang berasal dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.
            Kesakralan Barong Kemiren dapat dilihat dalam penyelenggaraan ritual Ider Bumi atau upacara selamatan desa yang selalu diselenggarakan pada hari raya kedua Idul Fitri. Setiap penyelenggaraan ritual Ider Bumi di Desa Kemiren, suatu keharusan mengarak Barong berkeliling melintasi seluruh wilayah desa. Prosesi itu merupakan bagian ritual yang sangat penting bagi masyarakat. Mereka mempercayai bahwa prosesi Barong yang melintasi seluruh wilayah desa tersebut dapat menyelamatkan mereka dari malapetaka, dan sebaliknya apabila ritual itu tidak dilakukan maka mereka akan mendapat malapetaka. Musibah itu dapat timbul sebagai wujud kemarahan dhanyang desa, yaitu roh atau arwah Buyut Cili sebagai penjaga Desa Kemiren yang merasa tidak diperhatikan lagi oleh masyarakat.
            Setelah ritual mengarak Barong, pada malam harinya dilanjutkan penyelenggaraan pentas dramatari Barong. Uniknya, dalam setiap pertunjukan dramatari Barong, tokoh Barong selalu mengalami kesurupan (possessed). Hal ini menandakan bahwa roh Buyut Cili telah datang kemudian masuk ke dalam diri tokoh Barong, dan itu berarti bahwa tujuan ritual dengan media pertunjukan Barong telah mendapat restu dari dhanyang. Menurut anggapan yang berkembang di masyarakat, asal-usul lahirnya kesenian Barong di Desa Kemiren berasal dari legenda tentang cikal bakal pendiri desa yaitu Buyut Cili. Ia merupakan tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai dhanyang Desa Kemiren.
            Barong Kemiren memiliki fungsi sebagai media penghubung utama antara masyarakat dengan roh leluhur Desa Kemiren. Meskipun di Desa Kemiren sendiri terdapat berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional, tetapi tidak pernah digunakan sebagai sarana dalam ritual selamatan desa Ider Bumi. Fungsi Barong Kemiren secara primer sebagai media utama dalam ritual Ider Bumi. Posisinya tidak bisa digantikan oleh berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional lainnya yang terdapat di Desa Kemiren.
            Selain daya tarik pada fungsinya, Barong Kemiren merupakan salah satu artefak yang bergerak. Pertunjukan Barong secara keseluruhan menyimpan berbagai simbol yang sarat dengan berbagai makna. Baik makna yang ada di dalam realitas sosial maupun makna yang masih terkonsepsikan dan berkembang dalam masyarakat, maupun makna yang tersirat dan hanya bisa diungkap melalui penelitian lapangan yang lebih intensif.
            Barong Using disebut juga dengan Barong Blambangan, dan ada pula yang menyebutnya Barong Banyuwangi. Istilah-istilah itu semua dimaksudkan untuk menyebut salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat tradisional yang hidup di daerah Banyuwangi, yaitu kesenian Barong. Pemberian istilah-istilah tersebut mengacu pada sebutan masyarakat pendukung kesenian itu sendiri, yakni masyarakat Using sebagai penduduk asli Banyuwangi, yang merupakan keturunan rakyat Kerajaan Blambngan.
            Pigeaud dalam buku Javaanse Volkvertoningen, secara khusus mengungkap bahwa kesenian Barong atau pertunjukan penyamaran di ujung timur Pulau Jawa (Banyuwangi) bukan asli Jawa tetapi dari Bali. Barong masuk ke Banyuwangi diperkirakan pada pertengahan abad ke-19 dibawa oleh beberapa orang terkemuka dari Bali yang terpaksa tinggal di Banyuwangi, karena di Bali saat itu sedang terjadi kekacauan. Setelah pertunjukan penyamaran dari Bali masuk ke Banyuwangi, pertunjukan itu sering dibawakan oleh kelompok kesenian Gandrung yang penarinya adalah anak laki-laki.
            Pendapat Pigeaud yang menyatakan bahwa Barong Banyuwangi berasal dari Bali, agaknya berbeda dengan beberapa versi yang berkembang di Banyuwangi. Salah satu versi menyatakan, bahwa Barong Banyuwangi asalnya dari negeri Cina, masuk ke Indonesia pada zaman Majapahit. Kemudian pada akhir zaman keemasan Majapahit, kesenian Barong lewat Banyuwangi masuk ke Bali.
            Informasi mengenai asal-usul Barong dari Cina juga diungkap oleh beberapa pakar. I Made Bandem dan Eugene de Boer dalam bukunya Balinese Dance in Transition, mengutarakan bahwa nenek moyang Barong adalah Tari Singa Cina yang muncul pada zaman Dinasti T’ang abad ke-7 sampai abad ke-10 kemudian menyebar hingga ke daerah Asia Timur. Pada zaman itu telah ada hubungan kesenian dan hubungan dagang antara Cina dengan beberapa negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Penyebaran Tari Singa Cina di berbagai wilayah Asia Timur sampai ke Malaysia. Berdasarkan keterangan yang ada bahwa Tari Singa Malaysia dibawa oleh pendatang dari Cina. Di Malaysia, Tari Singa melambangkan keharmonisan, keamanan, dan kebahagiaan, serta berfungsi untuk merayakan Tahun Baru Cina, juga pesta-pesta perkawinan. Claire Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia juga memberi petunjuk. Setelah mengidentifikasi adanya persamaan bentuk antara Tari Singa Cina dengan Barong di Jawa dan Bali yang berfungsi sebagai penangkal kejahatan, maka Holt berkesimpulan bahwa Barong berasal dari Cina. Dalam penjelasannya, Barong yang berbentuk singa di Jawa Timur dan Bali berhubungan dengan gelar “Yang Dipertuan dari Hutan” atau “Yang Dipertuan Harimau” juga memiliki hubungan dengan “Kirttimukha-Kala-Banaspati”, yaitu binatang mitologi yang menjadi pelindung bagi bangunan-bangunan suci. Ditegaskan pula oleh Holt, bahwa “evolusi Barong di Jawa dan Bali tak meragukan lagi sangat kompleks, dan benang-benang yang menghubungkannya dengan binatang-binatang mitologi dari negara lain kemungkinan besar bersilangan dan terjalin”.
            Dari keterangan-keterangan di atas dapat diasumsikan, bahwa asal-usul seni pertunjukan Barong dari Cina, dan kemungkinan puncak perkembangan atau penyebarannya ke seluruh Nusantara terjadi pada zaman Majapahit. Hubungan erat antara Kerajaan Majapahit dengan beberapa Kerajaan di Cina, selain karena faktor perdagangan juga ikatan perkawinan. Para pedagang Cina waktu itu banyak yang menjalin hubungan perkawinan dengan para keluarga ningrat dan keturunan mereka banyak menjadi pejabat kerajaan di daerah, misalnya patih atau panca-tandha. Demikian juga sebaliknya banyak bangsawan Majapahit yang menikah dengan putri-putri dari Cina, bahkan permaisuri Raja Brawijaya IV yang bernama Ratu Darawati juga seorang putri dari Kerajaan Campa dari Cina. Dalam berbagai literatur disebutkan, menurut tradisi Cina perayaan penyambutan tahun baru maupun perkawinan biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan Tari Singa (Barongsae). Oleh karena itu, dengan kekuasaan Majapahit yang sedemikian besar, yakni meliputi seluruh Nusantara sampai Semenanjung Malaka bahkan beberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara, maka sangat dimungkinkan penyebaran Barong ke berbagai daerah terutama daerah kekuasaan Majapahit. Tak terkecuali juga Blambangan sebagai negara bagian wilayah Majapahit yang disebut juga disebut Kedaton Wetan. Demikian halnya pengaruh besar budaya Kerajaan Majapahit terhadap Bali ketika Kerajaan ini mengadakan ekspansi ke Bali pada awal tengah kedua abad ke-14. Bahkan ketika Jawa Timur di bawah panji-panji Islam pada akhir abad ke-15, banyak sekali penduduk Jawa Timur termasuk para budayawannya yang mengungsi ke Bali karena tidak mau memeluk agama Islam. Asumsi ini lebih diperkuat lagi dengan adanya pandangan “istana sentris” sebagaimana yang diutarakan oleh Umar Kayam dalam buku Seni, Tradisi, Masyarakat.
            Keterangan mengenai asal-usul Barong Using menurut versi lain juga berbeda pandangan. Totok Harianto dalam tulisan berjudul “Kesenian Singo Barong Merupakan Kesenian Asli Banyuwangi” mengungkapkan bahwa, berdasarkan beberapa unsur pertunjukan yang ada seperti tema cerita, penokohan, alur, maupun setting, juga merupakan bentuk wadhag (prototipe) dari tokoh Barong Using tidak memiliki kesamaan dengan unsur-unsur bentuk prototipe Barong lain, baik itu Barong dari Jawa, Bali, maupun Cina. Oleh karena itu, Barong Using merupakan kesenian asli masyarakat Banyuwangi.
            Beberapa pendekatan dapat dijadikan bukti pendukung, bahwa sebenarnya prototipe Barong Using merupakan personifikasi atau penyesuaian dari ikonografi bentuk-bentuk Kirttimukha-Kala-Banaspati atau lebih tepatnya bentuk singa bersayap yang terdapat pada relief-relief candi maupun bangunan makam para wali di Jawa Timur. Singa bersayap sebagai binatang mitologi pelindung dari kejahatan, ternyata juga dikenal oleh berbagai peradaban manusia di berbagai belahan bumi, termasuk Banyuwangi.
            Unsur-unsur lain sebagai ciri khas prototipe Barong Using adalah mahkota (mekutha atau tropong) yang dikombinasikan dengan jamang dan gelung supit urang. Penggunaan atribut mahkota merupakan hal yang tidak lazim ditemui pada prototipe Barong pada umumnya. Mahkota berbentuk tropong dan gelung motif supit urang lazim dipakai sebagai atribut busana oleh tokoh-tokoh kesatria dalam kesenian Wayang (Wayang Wong). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari unsur-unsur seni.
***
            Upacara Ider Bumi di Desa Kemiren. Kemiren merupakan sebuah desa yang berada di sebelah barat Kota Banyuwangi. Jarak antara Desa Kemiren dengan Kota Banyuwangi kurang lebih 6 kilometer, sedangkan dengan pusat pemerintahan Kecamatan Glagah sekitar dua kilometer, dan sudah dihubungkan dengan fasilitas jalan beraspal yang relatif baik. Di samping itu, sarana angkutan umum juga sudah tersedia sehingga mempermudah arus komunikasi dan transportasi.
            Berbagai ritual yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Kemiren, pada dasarnya ditujukan kepada tokoh mitos ialah Buyut Cili yang dianggap sebagai penguasa atau dhanyang Desa Kemiren. Dalam kepercayaan masyarakat Kemiren, Buyut Cili dianggap sebagai cikal bakal yang telah membuka Desa Kemiren. Masyarakat Desa Kemiren percaya bahwa mereka berasal dari satu garis keturunan dengan Buyut Cili. Oleh karena itu, Buyut Cili dianggap memiliki kekuatan serta unsur-unsur tertentu yang dapat melegitimasikannya sebagai tokoh mitos, sehingga mendorong masyarakat pendukungnya ke arah ritualisasi.
            Mengenai asal-usul Buyut Cili, beberapa sumber menyebutkan secara lisan. Pada waktu terjadi “geger Mataram”, datanglah pelarian suami-istri bernama Marjana dan Marni ke Kerajaan Macan Putih. Marjana semula adalah seorang prajurit Mataram yang melarikan diri dan mengungsi ke Blambangan. Setibanya di Blambangan, Marjana mengabdikan diri di Kerajaan Macan Putih. Ketika itu, Kerajaan Macan Putih diperintah oleh Raja Tawang Alun yang memiliki peliharaan macan putih. Konon karena kesaktiannya, sang macan putih tidak mau memakan daging hewan, melainkan hanya mau memakan daging manusia. Untuk memberi makan macan putih tersebut, setiap beberapa hari sekali Prabu Tawang Alun menyuruh prajuritnya ke desa-desa untuk mencari warganya yang cacat fisik, untuk kemudian diboyong ke istana. Ternyata mereka yang diboyong ke istana tersebut tidak pernah kembali. Terdengar desas-desus bahwa mereka telah dijadikan santapan macan putih peliharaan Prabu Tawang Alun.
            Pada suatu ketika istri Marjana mendapat giliran untuk diboyong ke istana, karena dianggap cacat fisik, bertubuh kecil dan kurus. Menghadapi keadaan yang demikian, Marjana dan istrinya melarikan diri, menyingkir dari Kerajaan Macan Putih. Menyingkir dan mengungsi, dalam istilah Using disebut “ngili”. Dalam perjalanan ngili sampailah di hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon durian dan kemiri. Di sinilah Marjana dan istrinya babat alas untuk kemudian menjadikannya sebuah desa yang diberi nama Kemiren. Oleh karena Marjana pernah ngili dan dianggap sebagai cikal bakal yang telah membuka Desa Kemiren, maka keturunannya yang menempati Desa Kemiren memberi julukan Buyut Ngili dan akhirnya luluh dalam pengucapannya menjadi Buyut Cili atau Bo Cili. Di tempat ini pula Buyut Cili dan istrinya meninggal dunia dan dimakamkan.
            Letak makam Buyut Cili berada di tengah-tengah sawah penduduk tepatnya di daerah Sukasari, dalam wilayah Kemiren Timur (Dusun Kedaleman). Sukasari adalah nama daerah yang dulunya terdapat pohon suka yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Desa Kemiren. Akan tetapi sekarang pohon itu sudah tidak ada dan yang tersisa tinggal batu nisan saja yang diyakini masyarakat sebagai makam Buyut Cili dengan istrinya. Setiap malam Senin dan malam Jum’at banyak di antara masyarakat Kemiren yang melakukan ziarah ke makam Buyut Cili.
            Bagi masyarakat Kemiren, mitos Buyut Cili merupakan simbol kekuatan kosmos. Mitos tentang Buyut Cili meruapakan wacana sakral yang dihadirkan sebagai pusat dalam praktek-praktek religi mereka. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berimplikasi kebaikan, baik secara personal (individu) maupun komunal (umum) selalu dimohonkan padanya. Arwah Buyut Cili dipercaya dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi masyarakat Kemiren yang ingin hajatnya dapat terkabul harus melalui perantara Buyut Cili. Bahkan nama Buyut Cili sebagai pepundhen harus disebut pertama kali dalam rangka memulai suatu pekerjaan yang dianggap berat dan penting. Sebagai contoh, saat akan menanam padi, panen, memasak santan kelapa untuk dijadikan minyak goreng, membangun rumah baru (termasuk rumah ibadah), memperbaiki rumah lama, hendak melahirkan, hendak mengadakan hajatan, hendak menikah, hendak memainkan musik atau menari, hendak memperbaiki jalan dan sebagainya. Semua itu disyarati dengan menyelenggarakan selametan di makam Buyut Cili. Hal itu dimaksudkan untuk memohon perlindungan dari hal-hal yang bisa mengundang malapetaka.
            Mitos Buyut Cili diyakini oleh masyarakat Kemiren sebagai mitos yang benar-benar terjadi dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Masyarakat Kemiren menganggap mitos ini sebagai sesuatu yang sangat sakral dan keramat sehingga masyarakat merasa takut bila tidak menghormatinya. Hal itu diterima masyarakat sebagai sesuatu yang positif, sehingga tidak perlu dipertanyakan kebenarannya.
***
            Istilah Ider Bumi berasal dari kata ider dan bumi. Ider yang berarti beredar atau berputar yaitu berjalan mengelilingi, sedangkan Bumi (bumi) yang berarti tanah dasar. Dengan demikian Ider Bumi artinya mengelilingi seluruh wilayah desa, yaitu daerah yang menjadi tempat hunian dan tumpuan mata pencaharian hidup sekelompok manusia.
            Kegiatan Ider Bumi sangat lazim ditemukan dalam kehidupan masyarakat Using Banyuwangi. Penyelenggaraan Ider Bumi selalu dilakukan dalam bentuk arak-arakan atau pawai dengan mengarak sesuatu, dapat berupa benda-benda sesaji seperti tumpeng, pakaian, peralatan senjata/pusaka, dan yang paling sering adalah arak-arakan pertunjukan kesenian. Arak-arakan Ider Bumi biasanya juga dilakukan dalam rangka penyelenggaraan upacara selamatan desa atau upacara bersih desa, yaitu suatu tradisi selamatan desa secara adat yang ada pada umumnya diselenggarakan setahun sekali.
            Di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, upacara selamatan desa semacam itu disebut Ider Bumi, karena yang menjadi acara pokok dalam penyelenggaraannya adalah kegiatan arak-arakan berkeliling seluruh wilayah desa. Dalam kegiatan Ider Bumi yang diarak adalah kesenian Barong. Barong sebagai tokoh utama dalam kesenian ini dianggap sebagai penjelmaan dari Buyut Cili, yaitu tokoh mitologi yang dipercayai sebagai cikal bakal yang telah berjasa merintis pembukaan Desa Kemiren.
            Mengenai asal mula adanya upacara Ider Bumi di Desa Kemiren menurut sumber yang ada, baik secara lisan maupun tertulis menyebutkan sebagai berikut: “Dahulu kala di Desa Kemiren banyak rakyat yang diserang wabah penyakit yang disebut blindheng, sehingga bila tidur bergerombol atau berkumpul karena takut diserang wabah tersebut. Pagi sakit sorenya meninggal, dan sore sakit paginya meninggal. Pada waktu itu juga sawah para petani banyak diserang tikus yang datangnya bersamaan dengan penyakit tersebut. Lantas ada orang tua yang ziarah ke makam Buyut Cili untuk memohon bantuan. Oleh Arwah Buyut Cili disuruhnya orang tua tersebut menyelenggarakan arak-arakan melintasi seluruh desa. InsyaAllah orang-orang yang sakit dapat sembuh dan pulih kembali. Kemudian ada orang-orang yang mengadakan selamatan di makam Buyut Cili, ada pula yang mandi di sungai (kedhung) Rum, dan semua rakyat juga mengadakan selamatan di lingkungannya masing-masing. Sampai saat ini kebiasaan itu dilakukan setiap hari raya idul fitri hari kedua yang disebut selamatan Ider Bumi. Sejak dahulu kala sampai sekarang upacara Ider Bumi menjadi tradisi masyarakat Kemiren. Itulah wujud selamatan Ider Bumi di Desa Wisata Using yaitu Desa Kemiren.

Tidak ada komentar:
Write komentar