BERBUDAYA DALAM KEPRIBADIAN NYATA
“BARONG
USING DALAM RITUAL IDER BUMI DI DESA KEMIREN”
Banyuwangi
merupakan salah satu kota di Jawa Timur yang mengembangkan potensi wisata di
bidang kebudayaan. Kota yang terletak di ujung timur Pulau Jawa dan memiliki
wilayah darat seluas 578,250 ha dan wilayah laut seluas 175 x sepertiga wilayah
laut Provinsi Jawa Timur ini merupakan kota yang memiliki segudang kebudayaan
lokal dengan segala keunikannya masing-masing. Dari asal mula kebudayaan-kebudayaan
itu tercipta hingga pelestarian dan pengimplementasian kebudayaan itu di tengah
masyarakat Banyuwangi di era globalisasi dan westernisasi yang sedang melanda
Indonesia saat ini. Kota Banyuwangi memiliki penduduk sebanyak 1.647.003 jiwa
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 840.518 jiwa dan perempuan sebanyak
833.485 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,50 % (data statistik tahun 2007).
Kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk rata-rata 251 jiwa per km2 ini,
mampu menghasilkan beranekaragam kebudayaan unik. Predikat masyarakat
multikultural juga pantas disandang oleh Kota Banyuwangi, dengan berbagai
populasi suku yang ada, di antaranya adalah suku Jawa yang paling dominan,
disusul suku Using dan suku Madura. Tak heran jika akulturasi dan berbagai macam
kebudayaan lahir di sini. Suku Using merupakan suku lokal dan suku asli di
Banyuwangi, persebarannya meliputi Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Giri,
Kecamatan Glagah, Kecamatan Kabat, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Singojuruh,
Kecamatan Songgon, Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan Gambiran, dan
Kecamatan Genteng. Salah satu kebudayaan suku Using adalah Barong Using atau
Barong Kemiren karena kebudayaan ini dapat ditemukan di Desa Kemiren.
Barong
dalam budaya Using dideskripsikan sebagai binatang keramat yang dapat dijumpai
di berbagai belahan bumi sebagai binatang di dalam mitos-mitos berbagai suku
bangsa. Barong ini dianggap binatang yang memiliki kekuatan magis, bahkan
dianggap suci oleh yang mempercayainya. Secara khusus binatang mitologi yang
dapat dijumpai di Pulau Jawa salah satunya adalah Barong. Dalam konteks seni
pertunjukan, Th. G. Th. Pigeaud dalam bukunya yang berjudul Javaanse Volksvertoningen menyebut Barong
(Jawa:Barongan) dengan istilah “penyamaran”, yaitu pertunjukan yang menggambarkan
binatang, hantu atau makhluk dari alam lain. Dalam bukunya, Pigeaud mengungkap
persebaran Barong-barong itu di berbagai daerah terutama di Pulau Jawa dengan
mengklasifikasikannya berdasarkan letak geografis. Secara geografis terbagi
dalam tiga wilayah dari barat ke timur yang meliputi: Jawa Barat yaitu tanah
Pasundan (sebelah barat Swapraja), tanah Kejawen (daerah Swapraja) dengan
Madura, dan tanah seberang (sebelah timur Swapraja) yaitu ujung timur Pulau
Jawa (Banyuwangi). Ciri umum yang dimiliki kesenian Barong adalah selalu di
alam terbuka dan kerap kali di dalam bentuk prosesi. Di Banyuwangi sendiri
sampai saat ini masih hidup berbagai kesenian Barong dan masih fungsional di
masyarakatnya. Berbagai kesenian Barong tersebut di antaranya adalah: Barong Dhadhak Merak dalam pertunjukan
kesenian Reog Ponorogo, Barong Bali (sejenis
barong menyerupai Barong keket dari
Bali dan biasanya terdapat dalam pertunjukan kesenian Jaranan (Jathilan), Barong
Cina (barongsae), dan Barong
Banyuwangi yang lazim disebut dengan Barong
Using. Barong-barong tersebut pada mulanya merupakan seni pertunjukan yang
bersifat sakral, dan disajikan dalam berbagai ritual. Pertunjukan Barong sudah
menjadi bagian dari ritual. Akan tetapi, lambat laun nilai kesakralan tersebut mulai
menipis, sejalan dengan perkembangan peradaban masyarakat Banyuwangi yang
mengikuti era globalisasi.
Barong
Using adalah kesenian Barong yang diciptakan oleh masyarakat Using, sedangkan
masyarakat Using adalah penduduk asli Banyuwangi. Wujud Barong Using memiliki
ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan bentuk Barong lain yang ada di
Banyuwangi. Barong Using memiliki tampang wajah menyerupai bentuk kala atau
topeng raksasa dengan mata melotot, bercula, berkumis, bertaring, berjambang
atau berjenggot, kepala berambut, memakai mahkota (tropong) dilengkapi dengan gelung supit urang seperti mahkota yang
dipakai oleh tokoh raja dalam wayang, dan bersayap di sebelah kanan dan kiri.
Pertunjukannya dapat berbentuk arak-arakan, dramatari, maupun yang lainnya.
Pertunjukan
Barong Using termasuk yang banyak diminati masyarakat Banyuwangi, baik mereka
yang tinggal di kota maupun yang tinggal di pedesaan. Minat itu tampak dari
antusias mereka untuk menyaksikan dan mengundang kesenian Barong Using sebagai
sarana hiburan pada pesta-pesta perkawinan, khitanan, hajatan, dan
perayaan-perayaan lainnya. Saat ini terdapat lebih dari seratus grup kesenian
Barong Using yang tersebar di beberapa daerah kecamatan di wilayah Kabupaten
Banyuwangi. Secara umum dalam pertunjukannya sudah bersifat profit. Akan tetapi
ada satu grup kesenian Barong Using yang masih menyelenggarakan pertunjukan
untuk tujuan yang bersifat sakral. Kesenian Barong sakral tersebut terdapat di
Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, dan Barong tersebut lebih
dikenal oleh masyarakat Banyuwangi dengan sebutan Barong Kemiren. Ciri khas
dari Barong Kemiren, selain pertunjukannya bersifat sakral, juga merupakan
satu-satunya grup kesenian Barong di Banyuwangi yang hingga kini masih tetap
mempertahankan nilai-nilai budaya Using. Oleh karena itu, masyarakat Banyuwangi
menyebut Barong Using sebagai barong yang berasal dari Desa Kemiren, Kecamatan
Glagah, Kabupaten Banyuwangi.
Kesakralan
Barong Kemiren dapat dilihat dalam
penyelenggaraan ritual Ider Bumi atau
upacara selamatan desa yang selalu diselenggarakan pada hari raya kedua Idul
Fitri. Setiap penyelenggaraan ritual Ider
Bumi di Desa Kemiren, suatu keharusan mengarak Barong berkeliling melintasi
seluruh wilayah desa. Prosesi itu merupakan bagian ritual yang sangat penting
bagi masyarakat. Mereka mempercayai bahwa prosesi Barong yang melintasi seluruh
wilayah desa tersebut dapat menyelamatkan mereka dari malapetaka, dan
sebaliknya apabila ritual itu tidak dilakukan maka mereka akan mendapat
malapetaka. Musibah itu dapat timbul sebagai wujud kemarahan dhanyang desa, yaitu roh atau arwah Buyut Cili sebagai penjaga Desa Kemiren
yang merasa tidak diperhatikan lagi oleh masyarakat.
Setelah
ritual mengarak Barong, pada malam harinya dilanjutkan penyelenggaraan pentas
dramatari Barong. Uniknya, dalam setiap pertunjukan dramatari Barong, tokoh
Barong selalu mengalami kesurupan (possessed).
Hal ini menandakan bahwa roh Buyut Cili telah
datang kemudian masuk ke dalam diri tokoh Barong, dan itu berarti bahwa tujuan
ritual dengan media pertunjukan Barong telah mendapat restu dari dhanyang. Menurut anggapan yang
berkembang di masyarakat, asal-usul lahirnya kesenian Barong di Desa Kemiren
berasal dari legenda tentang cikal bakal pendiri
desa yaitu Buyut Cili. Ia merupakan
tokoh yang dimitoskan dan dianggap sebagai dhanyang
Desa Kemiren.
Barong
Kemiren memiliki fungsi sebagai media penghubung utama antara masyarakat dengan
roh leluhur Desa Kemiren. Meskipun di Desa Kemiren sendiri terdapat berbagai
bentuk seni pertunjukan tradisional, tetapi tidak pernah digunakan sebagai
sarana dalam ritual selamatan desa Ider
Bumi. Fungsi Barong Kemiren secara primer sebagai media utama dalam ritual Ider Bumi. Posisinya tidak bisa
digantikan oleh berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional lainnya yang
terdapat di Desa Kemiren.
Selain
daya tarik pada fungsinya, Barong Kemiren merupakan salah satu artefak yang
bergerak. Pertunjukan Barong secara keseluruhan menyimpan berbagai simbol yang
sarat dengan berbagai makna. Baik makna yang ada di dalam realitas sosial
maupun makna yang masih terkonsepsikan dan berkembang dalam masyarakat, maupun
makna yang tersirat dan hanya bisa diungkap melalui penelitian lapangan yang
lebih intensif.
Barong
Using disebut juga dengan Barong Blambangan, dan ada pula yang menyebutnya
Barong Banyuwangi. Istilah-istilah itu semua dimaksudkan untuk menyebut salah
satu bentuk seni pertunjukan rakyat tradisional yang hidup di daerah Banyuwangi,
yaitu kesenian Barong. Pemberian istilah-istilah tersebut mengacu pada sebutan
masyarakat pendukung kesenian itu sendiri, yakni masyarakat Using sebagai
penduduk asli Banyuwangi, yang merupakan keturunan rakyat Kerajaan Blambngan.
Pigeaud
dalam buku Javaanse Volkvertoningen, secara
khusus mengungkap bahwa kesenian Barong atau pertunjukan penyamaran di ujung
timur Pulau Jawa (Banyuwangi) bukan asli Jawa tetapi dari Bali. Barong masuk ke
Banyuwangi diperkirakan pada pertengahan abad ke-19 dibawa oleh beberapa orang
terkemuka dari Bali yang terpaksa tinggal di Banyuwangi, karena di Bali saat
itu sedang terjadi kekacauan. Setelah pertunjukan penyamaran dari Bali masuk ke
Banyuwangi, pertunjukan itu sering dibawakan oleh kelompok kesenian Gandrung yang penarinya adalah anak
laki-laki.
Pendapat
Pigeaud yang menyatakan bahwa Barong Banyuwangi berasal dari Bali, agaknya
berbeda dengan beberapa versi yang berkembang di Banyuwangi. Salah satu versi
menyatakan, bahwa Barong Banyuwangi asalnya dari negeri Cina, masuk ke
Indonesia pada zaman Majapahit. Kemudian pada akhir zaman keemasan Majapahit,
kesenian Barong lewat Banyuwangi masuk ke Bali.
Informasi
mengenai asal-usul Barong dari Cina juga diungkap oleh beberapa pakar. I Made
Bandem dan Eugene de Boer dalam bukunya Balinese
Dance in Transition, mengutarakan bahwa nenek moyang Barong adalah Tari
Singa Cina yang muncul pada zaman Dinasti T’ang abad ke-7 sampai abad ke-10
kemudian menyebar hingga ke daerah Asia Timur. Pada zaman itu telah ada hubungan
kesenian dan hubungan dagang antara Cina dengan beberapa negara-negara Asia,
termasuk Indonesia. Penyebaran Tari Singa Cina di berbagai wilayah Asia Timur
sampai ke Malaysia. Berdasarkan keterangan yang ada bahwa Tari Singa Malaysia
dibawa oleh pendatang dari Cina. Di Malaysia, Tari Singa melambangkan
keharmonisan, keamanan, dan kebahagiaan, serta berfungsi untuk merayakan Tahun
Baru Cina, juga pesta-pesta perkawinan. Claire Holt dalam buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia
juga memberi petunjuk. Setelah mengidentifikasi adanya persamaan bentuk
antara Tari Singa Cina dengan Barong di Jawa dan Bali yang berfungsi sebagai
penangkal kejahatan, maka Holt berkesimpulan bahwa Barong berasal dari Cina.
Dalam penjelasannya, Barong yang berbentuk singa di Jawa Timur dan Bali
berhubungan dengan gelar “Yang Dipertuan dari Hutan” atau “Yang Dipertuan
Harimau” juga memiliki hubungan dengan “Kirttimukha-Kala-Banaspati”,
yaitu binatang mitologi yang menjadi pelindung bagi bangunan-bangunan suci.
Ditegaskan pula oleh Holt, bahwa “evolusi Barong di Jawa dan Bali tak meragukan
lagi sangat kompleks, dan benang-benang yang menghubungkannya dengan
binatang-binatang mitologi dari negara lain kemungkinan besar bersilangan dan
terjalin”.
Dari
keterangan-keterangan di atas dapat diasumsikan, bahwa asal-usul seni
pertunjukan Barong dari Cina, dan kemungkinan puncak perkembangan atau
penyebarannya ke seluruh Nusantara terjadi pada zaman Majapahit. Hubungan erat
antara Kerajaan Majapahit dengan beberapa Kerajaan di Cina, selain karena
faktor perdagangan juga ikatan perkawinan. Para pedagang Cina waktu itu banyak
yang menjalin hubungan perkawinan dengan para keluarga ningrat dan keturunan
mereka banyak menjadi pejabat kerajaan di daerah, misalnya patih atau
panca-tandha. Demikian juga sebaliknya banyak bangsawan Majapahit yang menikah
dengan putri-putri dari Cina, bahkan permaisuri Raja Brawijaya IV yang bernama
Ratu Darawati juga seorang putri dari Kerajaan Campa dari Cina. Dalam berbagai
literatur disebutkan, menurut tradisi Cina perayaan penyambutan tahun baru
maupun perkawinan biasanya dimeriahkan dengan pertunjukan Tari Singa
(Barongsae). Oleh karena itu, dengan kekuasaan Majapahit yang sedemikian besar,
yakni meliputi seluruh Nusantara sampai Semenanjung Malaka bahkan beberapa
negara tetangga di wilayah Asia Tenggara, maka sangat dimungkinkan penyebaran Barong
ke berbagai daerah terutama daerah kekuasaan Majapahit. Tak terkecuali juga
Blambangan sebagai negara bagian wilayah Majapahit yang disebut juga disebut Kedaton Wetan. Demikian halnya pengaruh
besar budaya Kerajaan Majapahit terhadap Bali ketika Kerajaan ini mengadakan
ekspansi ke Bali pada awal tengah kedua abad ke-14. Bahkan ketika Jawa Timur di
bawah panji-panji Islam pada akhir abad ke-15, banyak sekali penduduk Jawa
Timur termasuk para budayawannya yang mengungsi ke Bali karena tidak mau
memeluk agama Islam. Asumsi ini lebih diperkuat lagi dengan adanya pandangan “istana
sentris” sebagaimana yang diutarakan oleh Umar Kayam dalam buku Seni, Tradisi, Masyarakat.
Keterangan
mengenai asal-usul Barong Using menurut versi lain juga berbeda pandangan.
Totok Harianto dalam tulisan berjudul “Kesenian Singo Barong Merupakan Kesenian
Asli Banyuwangi” mengungkapkan bahwa, berdasarkan beberapa unsur pertunjukan
yang ada seperti tema cerita, penokohan, alur, maupun setting, juga merupakan
bentuk wadhag (prototipe) dari tokoh
Barong Using tidak memiliki kesamaan dengan unsur-unsur bentuk prototipe Barong
lain, baik itu Barong dari Jawa, Bali, maupun Cina. Oleh karena itu, Barong
Using merupakan kesenian asli masyarakat Banyuwangi.
Beberapa
pendekatan dapat dijadikan bukti pendukung, bahwa sebenarnya prototipe Barong
Using merupakan personifikasi atau penyesuaian dari ikonografi bentuk-bentuk Kirttimukha-Kala-Banaspati atau lebih
tepatnya bentuk singa bersayap yang terdapat pada relief-relief candi maupun
bangunan makam para wali di Jawa Timur. Singa bersayap sebagai binatang
mitologi pelindung dari kejahatan, ternyata juga dikenal oleh berbagai
peradaban manusia di berbagai belahan bumi, termasuk Banyuwangi.
Unsur-unsur
lain sebagai ciri khas prototipe Barong Using adalah mahkota (mekutha atau tropong) yang dikombinasikan dengan jamang dan gelung supit
urang. Penggunaan atribut mahkota merupakan hal yang tidak lazim ditemui
pada prototipe Barong pada umumnya. Mahkota berbentuk tropong dan gelung motif supit urang lazim dipakai sebagai
atribut busana oleh tokoh-tokoh kesatria dalam kesenian Wayang (Wayang Wong). Hal
ini menunjukkan adanya pengaruh dari unsur-unsur seni.
***
Upacara Ider Bumi di Desa Kemiren. Kemiren merupakan sebuah desa yang
berada di sebelah barat Kota Banyuwangi. Jarak antara Desa Kemiren dengan Kota Banyuwangi kurang lebih 6 kilometer, sedangkan dengan
pusat pemerintahan Kecamatan Glagah sekitar dua kilometer, dan sudah
dihubungkan dengan fasilitas jalan beraspal yang relatif baik. Di samping itu,
sarana angkutan umum juga sudah tersedia sehingga mempermudah arus komunikasi
dan transportasi.
Berbagai ritual yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Kemiren, pada dasarnya ditujukan kepada tokoh mitos ialah Buyut Cili yang dianggap sebagai
penguasa atau dhanyang Desa Kemiren.
Dalam kepercayaan masyarakat Kemiren, Buyut
Cili dianggap sebagai cikal bakal yang
telah membuka Desa Kemiren. Masyarakat Desa Kemiren percaya bahwa mereka
berasal dari satu garis keturunan dengan Buyut
Cili. Oleh karena itu, Buyut Cili dianggap
memiliki kekuatan serta unsur-unsur tertentu yang dapat melegitimasikannya sebagai
tokoh mitos, sehingga mendorong masyarakat pendukungnya ke arah ritualisasi.
Mengenai asal-usul Buyut Cili, beberapa sumber menyebutkan
secara lisan. Pada waktu terjadi “geger Mataram”, datanglah pelarian suami-istri bernama Marjana dan Marni
ke Kerajaan Macan Putih. Marjana semula adalah seorang prajurit Mataram yang
melarikan diri dan mengungsi ke Blambangan. Setibanya di Blambangan, Marjana
mengabdikan diri di Kerajaan Macan Putih. Ketika itu, Kerajaan Macan Putih
diperintah oleh Raja Tawang Alun yang memiliki peliharaan macan putih. Konon
karena kesaktiannya, sang macan putih tidak mau memakan daging hewan, melainkan
hanya mau memakan daging manusia. Untuk memberi makan macan putih tersebut,
setiap beberapa hari sekali Prabu Tawang Alun menyuruh prajuritnya ke desa-desa
untuk mencari warganya yang cacat fisik, untuk kemudian diboyong ke istana.
Ternyata mereka yang diboyong ke istana tersebut tidak pernah kembali.
Terdengar desas-desus bahwa mereka telah dijadikan santapan macan putih
peliharaan Prabu Tawang Alun.
Pada suatu ketika istri Marjana
mendapat giliran untuk diboyong ke istana, karena dianggap cacat fisik,
bertubuh kecil dan kurus. Menghadapi keadaan yang demikian, Marjana dan
istrinya melarikan diri, menyingkir dari Kerajaan Macan Putih. Menyingkir dan
mengungsi, dalam istilah Using disebut “ngili”.
Dalam perjalanan ngili sampailah di
hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon durian dan kemiri. Di sinilah Marjana
dan istrinya babat alas untuk
kemudian menjadikannya sebuah desa yang diberi nama Kemiren. Oleh karena
Marjana pernah ngili dan dianggap
sebagai cikal bakal yang telah
membuka Desa Kemiren, maka keturunannya yang menempati Desa Kemiren memberi
julukan Buyut Ngili dan akhirnya
luluh dalam pengucapannya menjadi Buyut
Cili atau Bo Cili. Di tempat ini pula Buyut Cili dan istrinya meninggal dunia
dan dimakamkan.
Letak makam Buyut Cili berada di tengah-tengah sawah penduduk tepatnya di
daerah Sukasari, dalam wilayah Kemiren Timur (Dusun Kedaleman). Sukasari adalah
nama daerah yang dulunya terdapat pohon suka
yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya dhanyang Desa Kemiren. Akan tetapi sekarang pohon itu sudah tidak
ada dan yang tersisa tinggal batu nisan saja yang diyakini masyarakat sebagai
makam Buyut Cili dengan istrinya.
Setiap malam Senin dan malam Jum’at banyak di antara masyarakat Kemiren yang
melakukan ziarah ke makam Buyut Cili.
Bagi masyarakat Kemiren, mitos Buyut Cili merupakan simbol kekuatan kosmos. Mitos tentang Buyut Cili meruapakan wacana sakral yang
dihadirkan sebagai pusat dalam praktek-praktek religi mereka. Oleh karena itu,
segala sesuatu yang berimplikasi kebaikan, baik secara personal (individu)
maupun komunal (umum) selalu dimohonkan padanya. Arwah Buyut Cili dipercaya dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi
masyarakat Kemiren yang ingin hajatnya dapat terkabul harus melalui perantara Buyut Cili. Bahkan nama Buyut Cili sebagai pepundhen harus disebut pertama kali dalam rangka memulai suatu
pekerjaan yang dianggap berat dan penting. Sebagai contoh, saat akan menanam padi, panen, memasak santan kelapa
untuk dijadikan minyak goreng, membangun rumah baru (termasuk rumah ibadah),
memperbaiki rumah lama, hendak melahirkan, hendak mengadakan hajatan, hendak
menikah, hendak memainkan musik atau menari, hendak memperbaiki jalan dan
sebagainya. Semua itu disyarati dengan menyelenggarakan selametan di makam Buyut
Cili. Hal itu dimaksudkan untuk memohon perlindungan dari hal-hal yang bisa
mengundang malapetaka.
Mitos Buyut Cili diyakini oleh masyarakat Kemiren sebagai mitos yang
benar-benar terjadi dan dianggap sebagai suatu kebenaran. Masyarakat Kemiren
menganggap mitos ini sebagai sesuatu yang sangat sakral dan keramat sehingga
masyarakat merasa takut bila tidak menghormatinya. Hal itu diterima masyarakat
sebagai sesuatu yang positif, sehingga tidak perlu dipertanyakan kebenarannya.
***
Istilah Ider Bumi
berasal dari kata ider dan bumi. Ider yang berarti beredar atau berputar yaitu berjalan
mengelilingi, sedangkan Bumi
(bumi) yang berarti tanah
dasar. Dengan demikian Ider
Bumi
artinya mengelilingi seluruh
wilayah desa, yaitu daerah yang menjadi tempat hunian dan tumpuan mata
pencaharian hidup sekelompok manusia.
Kegiatan Ider
Bumi
sangat lazim ditemukan dalam
kehidupan masyarakat Using Banyuwangi. Penyelenggaraan Ider Bumi selalu dilakukan dalam bentuk arak-arakan atau pawai
dengan mengarak sesuatu, dapat berupa benda-benda sesaji seperti tumpeng, pakaian, peralatan
senjata/pusaka, dan yang paling sering adalah arak-arakan pertunjukan kesenian.
Arak-arakan Ider
Bumi
biasanya juga dilakukan dalam
rangka penyelenggaraan upacara selamatan desa atau upacara bersih desa, yaitu
suatu tradisi selamatan desa secara adat yang ada pada umumnya diselenggarakan
setahun sekali.
Di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah,
upacara selamatan desa semacam itu disebut Ider
Bumi,
karena yang menjadi acara pokok
dalam penyelenggaraannya adalah kegiatan arak-arakan berkeliling seluruh
wilayah desa. Dalam
kegiatan Ider Bumi yang
diarak adalah kesenian Barong. Barong sebagai tokoh utama dalam kesenian ini
dianggap sebagai penjelmaan dari Buyut
Cili, yaitu tokoh mitologi yang dipercayai sebagai cikal bakal yang telah berjasa merintis pembukaan Desa Kemiren.
Mengenai asal mula adanya upacara Ider Bumi di Desa Kemiren menurut sumber yang ada, baik secara
lisan maupun tertulis menyebutkan sebagai berikut: “Dahulu kala di Desa Kemiren banyak rakyat yang diserang
wabah penyakit yang disebut blindheng, sehingga
bila tidur bergerombol atau berkumpul karena takut diserang wabah tersebut.
Pagi sakit sorenya meninggal, dan sore sakit paginya meninggal. Pada waktu itu
juga sawah para petani banyak diserang tikus yang datangnya bersamaan dengan
penyakit tersebut. Lantas ada orang tua yang ziarah ke makam Buyut Cili untuk memohon bantuan. Oleh
Arwah Buyut Cili disuruhnya orang tua
tersebut menyelenggarakan arak-arakan melintasi seluruh desa. Insya’
Allah orang-orang yang sakit dapat sembuh dan pulih
kembali. Kemudian ada orang-orang yang mengadakan selamatan di makam Buyut Cili, ada pula yang mandi di
sungai (kedhung) Rum, dan semua rakyat juga mengadakan selamatan di
lingkungannya masing-masing. Sampai saat ini kebiasaan itu dilakukan setiap
hari raya idul fitri hari kedua yang disebut selamatan Ider Bumi. Sejak dahulu kala sampai sekarang upacara Ider Bumi menjadi tradisi masyarakat
Kemiren. Itulah wujud selamatan Ider Bumi
di Desa Wisata Using yaitu Desa Kemiren.
Tidak ada komentar:
Write komentar